bisnis online

Saturday, July 13, 2013

Mempertanyakan makna industrialisasi bagi Wonogiri.


Konsep industrialisasi ekonomi muncul seiring dengan berlangsungnya  Revolusi Industri di Inggris (Britania Raya) di akhir abad 18. Dimana masyarakat Inggris beranjak dari  era pertanian tradisional menjadi sebuah masyarakat yang menerapkan teknologi dalam proses usahanya. Berawal dari penerapan mesin untuk menggantikan tenaga manusia, hingga akhirnya menjadi negara yang berbasis manufaktur, berlangsung dalam waktu lebih dari satu abad (1760an - 1850 an). Berawal pada mesin menggantikan tenaga manusia untuk memintal kapas menjadi kain. Yang wajib dicatat dari era revolusi tersebut adalah, perubahan berlangsung gradual, bertahap dan tidak serta merta  pabrik canggih berdiri dalam waktu sekian bulan. Memang mungkin terkait dengan penemuan teknologi pendukung yang berlangsung secara bertahap, tetapi lambatnya penemuan itu justru berdampak positif, karena ketika industri  mulai bergerak perlahan hingga akhirnya ngebut karena tarikan teknologi, seluruh aspek sosial masyarakat juga melakukan penyesuaian secara bertahap.

Wonogiri, harus diakui memang masih berada di tataran masyarakat agraris dalam arti sebenarnya. Belum ada industri dalam skala besar yang beoperasi di Wonogiri, yang tidak berbasis hasil agraris. Kita tidak boleh lupa, bahwa pada masanya pabrik Jamu Air Mancur  memusatkan Wonogiri sebagai basis usahanya. Walaupun pada tahap perkembangannya, pabrik tersebut membangun unit usaha di tempat-tempat yang lain, harus diakui bahwa industri agraris telah begitu mengakar di Wonogiri.

Lalu, kenapa tiba-tiba Wonogiri ingin melompat sekian tingkat dengan membangun pabrik semen? Di satu sisi, kandungan batu kapur yang melimpah di Wonogiri bagian selatan sebagai bahan baku semen, menjanjikan eksploitasi yang tidak akan ada habisnya. Selain itu, pembangunan fasilitas pabrik di kawasan selatan, tentu akan mendorong pembangunan infrastruktur pendukungnya seperti jalan, perumahan, dan sebagainya. Tetapi satu hal yang patut dipertanyakan, seberapa besar efek pembangunan bagi penyerapan tenaga kerja lokal? Seberapa dampaknya terhadap pengembangan PAD? Dan lain sebagainya... Karena, komunitas yang pertama kali terdampak akan pembangunan itu adalah para petani / penggarap yang tinggal di sekitar lokasi rencana pembangunan pabrik. Apakah mereka akan langsung terserap?

Gelombang penolakan pendirian pabrik semen di Giriwoyo oleh perwakilan petani dan didukung sejumlah LSM lingkungan hidup menyebabkan warga Wonogiri terbelah. Di satu sisi, pro-industri semen tertarik atas peluang penyerapan tenaga kerja dan potensi kesejahteraan dari PAD dan berputarnya roda ekonomi di wilayah sekitar pembangunan pabrik. Di sisi lain, dengan argumen terancamnya kelestarian lingkungan hidup dimana pabrik dikhawatirkan akan mematikan sumber air yang digunakan sebagai 'oncoran' buat lahan pertanian warga sekitar. (Di Manjung- Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri juga pernah diwacanakan pembangunan pabrik tekstil, sebelum akhirnya ditolak warga.. Belum lagi pabrik bioethanol yang gagal dibangun di kawasan hutan lindung Alas Kethu. Dan mungkin masih banyak lagi...). Terlepas dari pro dan kontra pembangunan pabrik, disamping arus tuntutan industrialisasi sudah tak terelakkan, di tengah pandangan miring terhadap Wonogiri sebagai wilayah yang tertinggal, apa yang bisa dilakukan jika industrialisasi tidak diwujudkan dalam bentuk pembangunan pabrik yang masif?

Jika kita kembali melihat sejarah industrialisasi di Eropa dan negara-negara maju yang lain, proses industrialisasi yang bertahap saja membawa shock culture masyarakat yang tidak bisa mengikuti perubahan yang berlangsung dalam waktu puluhan tahun. Lalu bagaimana jika perubahan hanya berlangsung sekian bulan (atau tahun), dari yang biasanya bertanam singkong harus berubah menjadi buruh pabrik? (Lagi pula apa petani singkong punya skill menjadi buruh?) Secara kasat mata, membangun pabrik akan memberikan solusi instan bagi masalah tenaga kerja, tapi siapa yang akan diserap sebagai tenaga kerja di situ? Mungkin bukan para petani Giriwoyo sendiri.

Kenapa Wonogiri tidak menjalankan falsafah alon-alon waton kelakon, dengan melakukan intensifikasi usaha pertanian, peternakan, dan industri-industri berbasis agro dan pariwisata alam yang disamping lebih cocok dengan karakter masyarakat agraris Wonogiri, juga akan merangkul semua pihak dalam pertumbuhannya. Tidak diperlukan lompatan besar untuk menuju kesana, tidak perlu kemrungsung, sementara perubahan akan tetap berjalan. Kata kunci dari industrialiasi bisa saja diterapkan untuk Wonogiri, tanpa perlu merubah wajah agraris menjadi manufaktur, yaitu intensifikasi dan mekanisasi untuk menambah produktifitas. Perbanyak penggunaan mesin-mesin pertanian untuk mengurangi ketergantungan terhadap tenaga hewan dan manusia (yang mana ongkos sambatan juga semakin mahal). Lalu dari setiap kegiatan produksi selalu ditawarkan nilai tambah. (Panen singkong dijual dalam bentuk mocaf, peternakan sapi menghasilkan biogas untuk keperluan rumah tangga, sapi dijual dalam bentuk daging bersertifikasi halal dengan pelanggan tetap, dll dsb).

Lihat saja, di Manjung, Wonoboyo yang sedang ngetrend melakukan ternak sapi kereman, dengan harga daging sapi yang melangit belakangan ini, apa yang dikhawatirkan dengan penyerapan pasarnya? Lalu ada desa Pucung di perbatasan timur Wonogiri, apa yang tidak bisa di eksploitasi dari lokasi ini? Panorama yang indah siap untuk dijual dalam paket wisata alam dan outbond. Persediaan pakan dan lahan untuk peternakan yang siap dikembangkan. Pertanian sayur mayur dan lahan yang luas untuk tanaman keras industri. Pertanyaannya hanyalah, tinggal bagaimana 'industrialisasi' di tarik ke sana.

Ternak sapi Kereman di Manjung
Dengan intensifikasi, mekanisasi, dan peningkatan proses yang menghasilkan nilai tambah, impian peningkatan PAD bagi Wonogiri bukan lagi impian. Dan mungkin Wonogiri wajib memikirkan ulang konsep industrialisasinya.


Foto-foto sumbangan dari Mas Yusuf Kunto -Manjung, Wonoboyo, Wonogiri.


Tabung biogas dari kotoran sapi

Saturday, July 6, 2013

Mocaf bisa mengangkat perekonomian Wonogiri, asal...

Semua tentu sudah mahfum bahwa singkong banyak dihasilkan dari Wonogiri. Terlepas dari kandungan karbohidrat dan nutrisi lainnya, singkong atau 'pohung' masih dipandang sebelah mata sebagai makanan kampung, tidak berkelas, dan murahan. Memang harus diakui, bahwa selama ini singkong di posisikan sebagai produk yang identik dengan kawasan kering, miskin dan hanya sebagai cadangan di masa paceklik ketika tanaman lainnya susah hidup. Bahkan, disadari atau tidak, ketika label 'kota gaplek' disematkan kepada Wonogiri, bukan karena menyematkan kebanggaan sebagai penghasil gaplek yang sejahtera, tetapi lebih kepada pandangan rendah terhadap Wonogiri sebagai 'mampunya cuma makan gaplek!' Yang asosiasinya lebih kepada melabeli Wonogiri sebagai kota/kapubaten miskin. (Dan memang betul karena sampai artikel ini ditulis pun Wonogiri masih layak di label i kabupaten miskin karena rendah ya PAD, dan penghasilan dari pajak, dibandingkan dengan beban pengeluaran yg harus ditanggung)

Karenanya, penemuan teknologi pangan yang memodifikasi struktur tepung cassava (tepung singkong) menjadi tepung yang serupa dengan terigu tanpa merubah kandungan nutrisinya (malahan disebutkan mocaf lebih bagus karena gluten free tidak seperti terigu), layak menjadi tumpuan harapan petani singkong di Wonogiri. Dengan berlimpahnya produksi singkong di musim kemarau, selain untuk konsumsi sebelum musim hujan tiba, gairah memproduksi modified cassava seakan memunculkan secercah harapan akan peluang pemanfaatan singkong sebagai produk ekonomi yang bermartabat. Apakah otomatis akan begitu? Ada beberapa hal yang bias menyebabkan peluang emas ini dibawa melenceng dari semangat mensejahterakan rakyat.

Pertama, memproses tepung mocaf membutuhkan skill tertentu berupa penguasaan teknologi pengolahan singkong yang harus mengikuti prosedur tertentu. Selain itu, diperlukan unsur kimia tertentu (enzim) untuk merubah singkong menjadi output yang diharapkan. Juga alat-alat yang spesifik. Konsekuensinya, diperlukan permodalan dan keahlian sebelum bisa berproduksi. Kembali, masalah utama dari masalah perekonomian adalah ketersediaan modal, dan, adanya potensi usaha produktif dimonopoli oleh segelintir orang yang mampu mengakumulasikan modal. Jika produksi dimonopoli sekelompok kecil anggota masyarakat, akibatnya harga beli bahan baku singkong dari petani bisa didikte. Ujungnya, biarpun panen berlimpah, petani singkong tetap saja tidak bisa menikmati keuntungan dari hasil panennya.

Kedua, petani singkong adalah titik terdepan dalam rantai produksi mocaf. Dengan kata lain, petani singkong adalah lapisan terbawah dari piramida ekonomi produksi mocaf. Dengan fakta itu, jika keterlibatan petani sebatas penyediaan bahan baku, bisa dipastikan petani singkong tidak akan menikmati keuntungan pemasaran mocav. Paling banter, hanya menerima multiplikasi dari jumlah singkong yang diserap pabrik mocaf, tidak lebih.

Ketika dihadapkan pada kondisi seperti ini, biasanya kita menggantungkan harapan kepada PEMERINTAH ( dalam huruf kapital - saya hanya ingin menegaskan betapa tingginya - dan parahnya - ketergantungan kita terhadap sebuah institusi, yang entah kenapa seringkali berujung kekecewaan), dan berhenti berupaya secara kreatif untuk mencari solusi dari masalah kita. Tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja, mungkin jika anggota masyarakat bisa bersama-sama memecahkan masalah sosial tanpa tergantung pihak luar, di satu sisi bisa jadi solusi tersebut bisa sustain (awet) karena timbulnya rasa kepemilikan anggota masyarakat. Di sisi lain, akan memperkuat ikatan sosial di antara anggota masyarakat yang terlibat. (CMIIW, saya tidak belajar ilmu sosiologi).

Dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa dilakukan oleh petani? Terlepas dari semangat untuk terus meng-encourage petani dan masyarakat untuk membangun kolaborasi, berserikat untuk meningkatkan kapabilitas dengan koperasi, sudah waktunya menggeser posisi petani dari semata-mata penghasil bahan mentah, menjadi komponen produksi yang memberikan nilai tambah dalam rantai produksi mocaf (dan hasil-hasil pertanian lainnya).