bisnis online

Sunday, June 30, 2013

Kolaborasi - Strategi Mengatasi permainan tengkulak di musim panen.

Wonogiri sedang panen raya. Di hampir seluruh wilayah semua petani melakukan
panen padi. Tetapi, panen seakan tidak ada artinya di tengah kenaikan harga BBM dan menjelang puasa dan lebaran, bisa dipastikan harga-harga akan meroket tinggi.
Lebih celaka lagi. Seakan sudah menjadi pakem, bahwa ketika panen raya dan hasil panen berlimpah, justru hasil akan anjlok serendah-rendahnya. Jadi sudah kasat mata, bahwa banyaknya hasil panen seakan tidak cukup untuk menutup biaya produksi dan menyisakan keuntungan buat petani.

Bagaimana strategi menjual hasil panen dengan harga yang tinggi? Jawabannya jelas sekali: jangan jual ketika musim panen sewaktu produk berlimpah, tetapi juallah pada waktu musim tanam dan produk langka di pasaran. Jawaban yang sederhana, dan saya yakin logika akal sehat kita (terutama dalam hal ini anda) akan mengiyakan.
Yang menjadi masalah adalah, bagaimana bisa menahan barang ketika musim panen, dan menjualnnya ketika musim paceklik tiba?
Strategi untuk mengatasi ini, menurut saya, terletak pada sebuah budaya yang sudah lama dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Dan kalau diceritakan pada anak-anak sekarang ini, mereka seperti mendengar sebuah dongeng dari negeri antah berantah - sesuatu yang seakan absurd dan tidak nyata. Apakah itu: MENYIMPAN PANENAN DI LUMBUNG DESA!!!

Coba anda melihat ke sekeliling, desa mana yang masih mempunyai lumbung penyimpan hasil panenan? Saya pernah melihat liputan Trans7 tentang sebuah suku Badui di Jawa Barat masih melakukan praktek meyimpan padi hasil panenan mereka. Simpanan padi tersebut akan digunakan untuk cadangan makanan sampai panen yang akan datang, sekaligus untuk menyiapkan bibit yang akan ditanam pada musim tanam berikutnya.

Coba anda lihat lagi apa praktek yang berlaku di sekitar kita? Terlepas dari tolong-menolong pada waktu panen dalam bentuk 'sambatan' atau saling bergantian membantu melakukan panen. Apa yang dilakukan para petani terhadap hasil panenannya? Sudah bisa dipastikan, setelah sedikit dikeringkan (biasanya dengan cara dijemur) panenan langsung dijual kepada pembeli -biasanya tengkulak - yang membeli dengan harga rendah dengan alasan hasil panenan berlimpah di pasaran. Secara logika mekanisme penjualan ini sangat menghancurkan harga, dan sekaligus memangkas habis keuntungan para petani (stelah dipotong biaya-biaya tanam).

Salah satu solusi dari permasalahan ini, sebenarnya bisa dilakukan dengan pendekatan komunitas. Seperti yang saya diskusikan di tulisan terdahulu, kekuatan komunitas bisa mengangkat kepelikan permasalahan sosial. Dalam hal ini, koperasi akan memegang peranan vital dalam mengelola/mengontrol mekanisme penjualan hasil panen, sehingga petani tidak menjadi korban permainan harga tengkulak.

Sebagai Ilustrasi, jika siklus panen dua kali dalam setahun, maka dalam waktu berselang 4 bulan, dihasilkan panenan baru. (Kenapa bukan 6 bulan? Jangan lupa ada jeda antar panen ketika musim kemarau. Dan musim tanam tidak / belum bisa dilakukan ketika musim hujan baru mulai). Ketika panen dihasilkan dengan jeda 4 bulan, maka ada waktu sekitar 7 sampai 8 bulan sebelum panenan bisa dihasilkan.

Secara siklus harga jual, waktu panen adalah harga jual yang paling rendah. Sebaliknya pada waktu 7 - 8 bulan di musim kemarau, harga jual akan mengalami puncaknya.

Nah jika ketika panen hasilnya disimpan di Koperasi (jaman dulu masih dikenal KUD ya..), dan dijual ketika musim kemarau, maka pendapatan petani akan lebih banyak - relatif dibandingkan hasil penjualan ketika musim panen.

Satu pertanyaan yang muncul dari sini adalah, jika petani tidak menjual hasil panennya, bagaimana petani mencukupi kebutuhan hidup? Di sini koperasi memainkan peranan vital. Koperasi (dimana petani juga menjadi anggotanya) akan memberikan bahan-bahan pokok sehari-hari, dan juga pinjaman uang kepada petani. Yang nantinya akan dibayar dengan hasil penjualan panen (yang saat bahan pokok tersebut diberikan sedang dijual di gudang nya koperasi).

Tentunya management stock dan sirkulasi diperlukan, mengingat penyimpanan hasil panen juga berpotensi kerusakan/hama.

Tetapi secara umum, pemaparan singkat ini akan memberikan gambaran singkat bagaimana timing penjualan akan mempengaruhi peningkatan pendapatan. Dan petani tidak akan terjebak pada lingkaran setan kemiskinan.


Melbourne, 01/07/2013





Thursday, June 20, 2013

Menyelesaikan masalah dengan menyederhanakannya.

Judul posting yang membingungkan :)
Sebenarnya ide tulisannya simpel saja, tentang bagaimana mengurai masalah yang rumit, dan menyelesaikannya. Analogi 'bolah ruwet', tentunya tidak bisa menguraikan benang yang kusut tanpa menemukan terlebih dulu ujung pangkal benang. Setelah ketemu baru sedikit demi sedikit kedua ujung benang ini di urai. Sesederhana itu masalah? Ya memang tidak. Tapi memandang persoalan pelik dengan pola pikir yang berbelit juga tidak akan menylesaikan masalah.

Jadi, ketika dihadapkan persoalan pelik, tenangkan pikiran, cobalah keluar dari pola pikir rutin anda. Pecahkan pembungkus kebntuan dan uraikan/selsaikan masalah satu per satu.



Tuesday, June 18, 2013

Revitalisasi asset - Perencanaan yang menyeluruh.

Dari seorang teman yang bekerja di BPPT saya memperoleh informasi bahwa dia memimpin proyek pembangunan fasilitas pengolahan bioethanol di wilayah Kismantoro tahun 2005-2007. Desain dan peruntukan fasilitas itu adalah mengolah bahan baku sorghum menjadi bahan bakar alternatif (bio-ethanol) yang sustainable. Sebuah ide yang luar biasa bukan? Betul-betul gagasan yang brilliant jika saja si perumus proyek tidak lupa memastikan bahwa di Wonogiri tidak lagi ditanam Sorghum !! (Saya check dengan ortu yang mengalami masa 50-70an, memang waktu itu sorghum bisa ditemui dengan mudah di tegalan-tegalan sebagai alternatif tanaman pangan- tetapi sorghum sudah dilupakan sejak era 90an). Informasi dari teman saya, terpaksa dia merubah spesifikasi alat sehingga bisa di pasok dengan tetes tebu.

Ada beberapa hal yang mungkin bisa kita jadikan pembelajaran betapa pentingnya pengambilan keputusan (dalam hal ini penentuan spesifikasi alat, dan lokasi pabrik) selalu memperhatikan aspek-aspek dalam konteks yang lebih luas, bukan hanya sekedar bahwa harus ada fasilitas bio-ethanol saja.
Yang pertama, seandainya saja perencanaan pabrik di sertai dengan perumusan supply chain, tentunya akan disertai kajian ketersediaan bahan baku. Bagaimana bisa sebuah pabrik dibangun dengan spesifikasi alat berbahan baku yang tidak sesuai, tidak tersedia di sekitar lokasi dengan kalkulasi ekonomis. Sorghum memang dikembangkan di wilayah Banyuwangi - tetapi jarak tempuh ke Wonogiri tentunya tidak ekonomis. Memang pada akhirnya bahan baku bisa dipenuhi dengan tetes tebu, tetapi perlu di ingat bahwa pabrik tebu terdekat ada di wilayah Karanganyar. Jikapun bisa dibeli dari sana, bukankah itu berarti mengurangi potensi pendapatan petani lokal (Wonogiri) dan sekaligus mempertinggi biaya produksi?

Yang kedua, jika memang secara perencanaan pabrik nantinya akan dipasok dengan sorghum, secara lokasi pabrik tentu akan didekatkan dengan lahan yang potensial ditanami sorghum. Berdasarkan referensi dari wikipedia,  sorghum sangat sesuai ditanam di area yang luar biasa kering, dengan sedikit curah hujan dalam setahun. Membaca spesifikasi tanaman sorghum bicolor ini, yang langsung terbayang di benak saya adalah kawasan selatan Wonogiri. Daerah Giriwoyo bagian selatan, Paranggupito ke barat hingga Pracimantoro, adalah pelanggan tetap tangki air setiap musim kemarau. Artinya, curah hujan sangat minim yang mengakibatkan palawija - bahkan singkong sekalipun - kesulitan untuk bisa tumbuh. Tapi hal yang sama tidak berlaku bagi sorghum!! Justru sorghum akan tumbuh dengan baik dengan karakteristik curah hujan dan kondisi air tanah yang semacam ini, dan tentunya bukan di wilayah Kismantoro yang 'relatif' melimpah. (Mungkin saja Kismantoro mengalami dampak kekeringan ketika kemarau, tetapi tidak separah wilayah selatan Wonogiri).

Yang ketiga, jika saja ada perencanaan yang matang dalam pengambilan keputusan instalasi infrakstruktur ini, tentunya bisa menjadi alternatif solusi untuk kepentingan yang lebih luas - petani kecil, dan potensi PAD bagi Wonogiri. (Saya tidak menyebutkan sebagai investasi karena saya tidak tahu keputusan instalasi infrastruktur bio-ethanol ini sifatnya proyek pusat atau bagaimana).  Jika saja instalasi ditempatkan di Pracimantoro - misalnya, maka beberapa keuntungan sekaligus bisa di peroleh. Seperti misalnya bekembangnya industri di kawasan selatan. Jika ada industri, tentunya infrastuktur (jalan dan komunikasi) akan bisa di prioritaskan di wilayah itu. Selanjutnya jika ada pabrik berbahan baku sorghum, petani di wilayah yang terdampak kekeringan akan memiliki sumber penghasilan ketika musim kemarau. Pabrik bio-ethanol tentunya akan lebih ekonomis jika beroperasi sepanjang tahun. Yang itu berarti petani juga bisa bertanam sorghum sepanjang tahun. Ujung-ujungnya adalah peningkatan penghasilan petani, dan bergeraknya roda ekonomi.

Anyway, just my 2 cents. Semoga saja semakin banyak pemikir dan pemimpin Wonogiri yang fokus pada pengembangan wilayah kita. Kita doakan secara berjamaah. Amin.


-=0 Melbourne puncak winter 2013. Membayangkan naik motor di jalur selatan antara Giribelah - Eromoko di musim kemarau. Panasnya udara plus debu yang menyembur ke muka, tak terlupakan. 0=-



Sunday, June 16, 2013

Meraih Kesejahteraan Bersama dengan peningkatan Optimalisasi Supply Chain

Dalam beberapa post saya di blog ini, microfinance sebagai alternatif menembus tembok permodalan bagi pengusaha 'extremely micro' (saking kecilnya). Terutama dari keluarga yang tidak beruntung baik dalam akses ke bank, maupun kepemilikan aset. Selain memberikan kesempatan berkembang bagi pengusaha yang tidak 'bankable' karena tidak adanya aset sebagai jaminan, ada potensi untuk menggunakan konsep microfinance sebagai katalisator mengangkat kesejahteraan masyarakat dalam skala yang lebih luas. Bagaimana caranya?
Dalam setiap usaha yang dikembangkan dengan konsep microfinance, selalu ada dua relasi yang mnenyertai supplier dan buyer. Dalam hal ini, klien microfinance kita sebagai produsen berada di tengah-tengah, di antara keduanya. Memperluas jangkauan management microfinance ke depan (ke supplier) dan ke belakang (ke arah buyer) akan membawa efek berlipat yang di dorong dengan pembiayaan microfinance. Kembali, saya berikan contoh kongkret dari konsep ini.
Contoh kasus (kalkulasi angka hanya sebagai ilustrasi saja, bukan dari data riil):
Katakan pak Fulan yang seorang pedagang tapai singkong menjadi klien microfinance kita. Sehari-hari pak Fulan mengolah tapai dari singkong yang dipanen sendiri atau dibelinya dari petani singkong. Dimana, dari 20 kg singkong, pak Fulan bisa menghasilkan 12 - 16 kg tapai singkong setelah 3 hari diolah. (Tapai singkong memerlukan dikupas, direbus, peragian, dan pemeraman).
Dua pihak yang berhubungan langsung dengan usaha pak Fulan adalah petani singkong (atau pedagang singkong) dari siapa pak Fulan memperoleh bahan bakunya (selain dari kebun sendiri), dan pembeli tapai buatan pak Fulan. Yang secara hubungan bisa digambarkan seperti berikut:

SUPPLIER --> Fulan --> BUYER

Jika terjadi perubahan pada usaha pak Fulan, maka kedua pihak tersebut akan terkena imbasnya, baik berupa imbas peningkatan atau penurunan. Katakan jika pak Fulan bisa menambah produksi dengan pembelian bahan baku hingga 30 kg, maka Supplier akan secara langsung meningkat omset penjualan singkongnya. Begitu juga bagi pihak buyer. Si buyer akan memiliki kesempatan untuk membeli tapai lebih banyak lagi. Efek berantai serupa akan terjadi jika ternyata pak Fulan sakit - dan tidak bisa memproduksi tapai. Supplier kehilangan omset, Buyer kehilangan pasokan.

Kendala dari peminjaman modal bagi pengusaha kecil bukan hanya besaran pinjaman modal yang bisa diperoleh oleh setiap pengusaha super mikro. Tetapi termasuk juga minimnya pengetahuan si pengusaha dalam manajemen usahanya. Diantaranya kurangnya kemampuan dan pengetahuan untuk menjamin semua pinjaman digunakan untuk keperluan usaha, dan pengelolaan pasokan bahan baku. Seringkali, pengusaha super mikro membutuhkan dana untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga pinjaman yang sedianya untuk pengembangan usaha terpakai untuk - membeli beras - misalnya. Yang mengakibatkan, bukan saja usahanya akan terpengaruh secara kapasitas dan omset, tetapi juga terhadap kemampuan mengembalikan pinjaman.

Lalu bagaimana strategi microfinance akan menjamin kelancaran usaha pak Fulan?
Di sini, konsultan akan melakukan peranan penting terkait dengan pengelolaan bisnis pak Fulan dan sekaligus  menerobos ke dalam jalur supply chain nya. Ke dalam bisnis pak Fulan, konsultan akan membimbing penyusunan pembukuan sederhana. Berupa pencatatan transaksi pembelian, penjualan, dengan tujuan agar kalkulasi laba rugi bisa ditampilkan sebagai dasar kalkulasi bagi hasil. Tentunya semua di upayakan secara sesederhana mungkin.
Kepada pemasok, konsultan berusaha memastikan pemenuhan kewajiban pembayaran order bahan baku. Dengan cara memberikan pembayaran order bahan baku secara langsung kepada pemasok. (Bukan diberikan kepada Pak Fulan). Dalam hal ini, konsultan senantiasa melakukan bargaining dalam upaya memperoleh harga pasokan seekonomis mungkin. Harga pasokan ini dari waktu ke waktu terus dievaluasi.
Nilai nominal pembayaran kepada pemasok ini lah yang akan dijadikan dasar perhitungan pinjaman oleh Pak Fulan. Sehingga terlihat bahwa, strategi menjamin kelancaran pembayaran kepada pemasok, akan membantu pak Fulan menjaga likuiditas pembayaran pinjamannya.


Monday, June 10, 2013

Strategi mendulang kesejahteraan dari sektor pertanian

Petani Indonesia identik dengan kemelaratan. Itu sudah jamak. Yang lebih mengenaskan adalah mereka hanya memperoleh perhatian lima tahun sekali menjelang pemilu. Dengan dijadikan komoditas jualan dalam kampanye, dengan tujuan mendulang suaranya sebagai pemilih. Sisanya yang 4 tahun, kesejahteraan hanya impian semata.

Kalau diamati, kenapa petani tidak juga bisa memperoleh kesejahteraan? Kalau dalam bisnis yang lain memerlukan dan wajib punya strategi, menjadi petani pun harus menerapkan jurus yang jitu agar dalam jangka pendek bisa survive, dalam jangka panjang bisa memperoleh posisi yang setara atau lebih tinggi daripada profesi lain. Kenapa?

Alasan pertama adalah karena petani (rata-rata petani, tidak seluruhnya) adalah pemilik aset (lahan pertanian). Dalam bisnis, pemilik aset seharusnya memiliki power lebih tinggi daripada pengguna aset tersebut. Yang memungkinkan pemilik aset tidak di dikte atau di atur-atur oleh pihak lain. Celakanya, semakin banyak petani pemilik lahan yang memilih untuk menjual aset kepada orang lain karena keinginan jangka pendek, misalnya untuk beli moto atau mobil. Dalam hal ini, petani semacam itu akan kehilangan aset paling berharga dari bisnis nya.

Alasan kedua, makanan adalah komoditi masa depan. Artinya, produsen bahan makanan (baca: hasil pertanian) adalah pemilik komoditi di masa depan. Dalam waktu tiga puluh tahun ke depan, ketika jumlah penduduk bumi mencapai 8 milyar atau lebih, mereka semua perlu makan. Darimana bahan makanan akan diperoleh? Tentunya dari pertanian. Lalu kalau semua lahan dikonversi menjadi perumahan, siapa yang akan menghasilkan bahan makanan?

Nah, lalu bagaimana mensiasati supaya petani bisa memanfaatkan keunggulan dari profesinya?
Strategi pertama adalah lepas dari jeratan kemiskinan financial dan informasi. Lah, blunder kan? Sebagian orang beranggapan bahwa jadi petani adalah pilihan terakhir karena tidak memiliki pendidikan, tidak cukup skill untuk jadi karyawan atau buruh. Sedangkan tidak memiliki dana yang cukup akan menghalangi anak untuk bersekolah. Jadinya petani ditempatkan pada lingkaran setan tingkat pendidikan dan kesulitan ekonomi. Paradigma ini menempatkan profesi petani seakan-akan sebagai kasta terendah dalam strata sosial. Pemikiran ini yang harus di rubah, di masa depan petani Indonesia harus minimal Sarjana. Atau paling tidak mereka rajin baca koran, terupdate info global terkini, atau melek internet.  Sehingga tidak akan ada lagi penipuan oleh politikus yang mengatasnamakan kepentingan petani dan rakyat kecil. Ketika informasi masuk kepada para petani, bargaining position mereka naik, karena mereka memiliki alternatif informasi selain yang di suarakan oleh pihak-pihak yang ingin mencapai kepentingannya sendiri.

Strategi yang kedua adalah keluar dari perangkap profit. Inti dari bisnis adalah berproduksi (atau dalam konteks pertanian menghasilkan panenan) dengan biaya serendah-rendahnya, untuk kemudian menjual dengan harga setinggi-tingginya. Begitu juga dengan pertanian, bagaimana caranya supaya bibit, pupuk, pengolahan, tenaga kerja yang digunakan diperoleh dengan biaya seminim mungkin, supaya ongkos produksi rendah. Dan cari pembeli yang mau membeli dengan harga paling tinggi. Terdengar absurd? Mungkin sekali untuk kondisi Indonesia saat ini. Ketika semua bibit dan pupuk harus diimpor, di monopoli oleh segelintir pengusaha, penentuan harga tentunya akan di dominasi oleh mereka. Sebaliknya ketika giliran panen, tengkulak akan membeli dengan harga serendah-rendahnya. Sampai-sampai profit pun tidak cukup untuk hidup petani diantara dua masa panen.

Terus bagaimana jalan keluarnya? Untuk keluar dari perangkap profit, petani harus keluar dari rutinitas menanam ketika musim tanam kemudian dijual ketika musim panen. Untuk itu paradigma petani harus dirubah menjadi: MEMBELI BIBIT KETIKA MUSIM PANEN, MENANAM KETIKA MUSIM TANAM, MENJUAL KETIKA PACEKLIK. Dan semuanya harus dilakukan secara SINERGI.


Wednesday, June 5, 2013

Mutual Banking - Ketika Pemilik modal adalah sekaligus nasabah.

Dedicated for: http://www.facebook.com/groups/suararakyatwonogiri/
(Setitik pemikiran diantara gagasan-gagasan besar member SRW yang luar biasa)

Dalam diskusi kita di tulisan terdahulu mengenai microfinance sebagai alternatif pendekatan permodalan bagi masyarakat yang tidak bankable, dalam ilustrasi kasus pinjaman dari kelompok, saya sedikit sudah menyinggung tentang sebagian dari hasil pengembangan menjadi kontribusi peminjam terhadap modal perusahaan.

Di beberapa negara barat, konsep semacam itu dikenalkan sebagai 'mutual banking' practice. Dimana nasabah bank yang menggunakan dana bank, sekaligus memiliki penyertaan modal di bank tersebut. Uniknya, karena pasar yang di bidik sangat spesifik, bank-bank didirikan berdasarkan komunitas, dan fokus pada komunitas yang memiliki kesamaan tertentu. Misalnya sama-sama guru, atau komunitas yang tinggal di suatu daerah yang sama. 

Yang menjadi catatan saya adalah, di Indonesia kita mengenal konsep yang mirip seperti itu dengan label yang berbeda. Kita mengenal koperasi dengan anggota yang terbatas, yang setiap anggota memiliki andil dalam permodalan maupun dalam operasional koperasi. Misalnya simpanan pokok dan simpanan wajib menjadi kontribusi tetap anggota terhadap permodalan. Sedangkan dalam operasional, koperasi memiliki usaha yang bisa memutar modal yang dimiliki dengan tujuan menghasilkan profit. Jika dalam beroperasinya usaha ini menghasilkan profit besar, maka keuntungan yang diperoleh anggota juga semakin besar. Simpan pinjam, misalnya, memang menggiurkan bagi unit usaha koperasi. Karena dengan usaha yang relatif sederhana, profit yang dihasilkan sudah bisa dipastikan masuk setiap bulan (atau periodik hingga pinjaman lunas). (Mohon di catat, bahwa saya tidak menganjurkan menerapkan simpan pinjam sebagai aktifitas dalam berkoperasi. Kenapa? Akan kita bahas di posting yang lain).
Apapun istilah yang digunakan, konsep partisipatif dalam pengelolaan modal dan operasional usaha, akan mempercepat pemerataan kesejahteraan anggota.

Melbourne, 0/06/2013