bisnis online

Tuesday, April 22, 2014

Siklus Ekonomi Partisipatif: Sebuah model untuk membangun kemandirian komunitas.

(Masih mengenai pengembangan ekonomi kerakyatan). 


Permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia dewasa ini adalah gempuran produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri dengan harga yang relatif murah. Sementara tidak cukup dilakukan upaya perlindungan terhadap produk dan kemampuan dalam negeri untuk memproduksi, lambat laun produsen local semakin terpinggirkan dan pada akhirnya gulung tikar.
Kasus yang masih sangat melekat dewasa ini adalah berfluktuasinya harga daging dan andil pemerintah dalam menekan produksi lokal dengan membuka keran impor daging (maupun sapi potong). Dalam kondisi permintaan yang tinggi karena musim (terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha), bisa dimengerti bahwa harga melonjak secara signifikan. Celakanya, alih-alih mendorong peningkatan penggunaan produk lokal, pemerintah secara langsung mengambil jalan pintas dengan melakukan impor daging sapi. Ketika harga jual daging sapi mendadak anjlok (karena berlimpahnya pasokan daging dari impor),  otomatis petani lokal tidak bisa mengambil profit dari kenaikan harga daging. Dan akibat yang langsung terlihat adalah, peternak mengalami kerugian karena tidak bisa membeli bibit sapi yang sepadan.
Model berikut ini disajikan untuk mengatasi ketergantungan masyarakat dalam sebuah komunitas terhadap pasokan bahan dari luar. Sekaligus meningkatkan perekonomian mereka dengan memastikan nilai tambah yang di timbulkan/dihasilkan dari setiap proses memberi kontribusi keuntungan bagi pihak yang terlibat baik berupa keuntungan langsung, maupun akumulasi dari keuntungan tak langsung. Dalam model terdapat tiga kelompok besar yang terlibat dalam aktifitas kegiatan, yang pertama adalah koperasi sebagai pengelola/ penerima simpanan dari anggota. Yang kedua, pelaku usaha yang berada dalam arus supply chain, dan yang ketiga adalah unit holding yang berperan sebagai koordinator dari rangkaian kegiatan usaha.
Model ini bisa diterapkan dalam siklus barang dan/jasa apapun. Sebagai ilustrasi, kali ini dicontohkan siklus daging sapi, dimana terdapat peternak, jagal sebagai produsen, distributor adalah pengusaha angkutan, dan pedagang bakso sebagai konsumen akhir daging sapi. Dalam kondisi harga daging sapi di pasaran mencapai Rp 100.000,00/kg, pemerintah menyatakan akan menstabilkan harga pasar dengan melakukan impor langsung daging segar. Meskipun wacana tersebut tidak serta merta menurunkan harga daging di pasaran, harga jual sapi bobot 250kg langsung anjlok Rp 3.000.000,00/ ekor dari yang sebelumnya Rp 20.000.000,00/ekor menjadi Rp 17.000.000,00. Mesti angka tersebut hanya untuk keperluan ilustrasi, kasus yang riil benar-benar terjadi di masyarakat.
Dalam situasi harga sapi dan daging sapi yang fluktuatif, di dalam siklus ini, maka runtutan transaksi bisa digambarkan sebagai berikut:
Jika modal awal peternak sebesar Rp 13.000.000,00, dan peternak tetap menjual sapi sesuai harga pasaran kepada jagal sapi, yaitu: Rp 17.000.000,00 (dari yang seharusnya bisa dijual dengan harga Rp 20.000.000,00) dengan membukukan keuntungan Rp 4.000.000.00.
Jagal sapi setelah membeli sapi seharga Rp 17.000.000,- maka dengan patokan harga pasar bisa menjual daging seharga: Rp 25.000.000,00 dengan membukukan untung sebesar Rp 5.000.000,00.
Maka akumulasi keuntungan sebesar Rp 8.000.000,00 menjadi keuntungan bersama yang jika diperlukan bisa di bagi.
Secara konsep siklus ekonomi ini bisa menguntungkan jika semua stake holder merupakan anggota dari koperasi. Dimana simpanan anggota koperasi disertakan dalam permodalan perusahaan ‘Unit Holding’ yang bertindak sebagai regulator dan coordinator siklus usaha. Unit holding memberikan bantuan permodalan kembali kepada usaha yang dijalankan anggota, sehingga setiap transaksi dilaporkan dan mengikuti ketentuan dari Unit Holding. Begitu seterusnya sehingga aliran dana dan barang bisa dipantau oleh Unit Holding, untuk kepentingan kelompok usaha tersebut.
Meskipun menjaring masyarakat seluas-luasnya dalam kegiatan ekonomi partisipatif dan peranan dominan sebuah koperasi induk, siklus ini tetap memerlukan peran serta pemerintah daerah secara aktif. Dalam hal ini, pemerintah daerah menjadi regulator, sekaligus fasilitator dalam siklus ekonomi ini. Lebih gamblangnya, Unit Holding yang menggunakan pembiayaan dari Koperasi merupakan sebuah BUMD yang disamping menjamin keberlangsungan usaha, keamanan investasi koperasi, Unit Holding juga bisa menjadi sumber PAD bagi pemerintah daerah. Selain itu, SKPD yang relevan di bawah bupati bisa terlibat langsung dalam pendampingan usaha, penyuluhan, maupun dalam kapasitas menyalurkan kredit secara langsung kepada unit-unit usaha tersebut.
Dengan memandang lingkaran supply and demand barang dan jasa dalam komunitas sebagai rangkaian Supply Chain, maka penerapan Enterprise Systems ke dalam mekanisme bisnis akan membantu operasional maupun pengembangan bisnis. Jika setiap titik produsen bisa dianggap sebagai satu entitas. Permintaan dari satu entitas merupakan trigger untuk entitas yang lain untuk bekerja memenuhi permintaan.
Konsep end to end economy semacam ini menyerupai konsep monopoli oleh pemodal besar (corporate groups / business groups) dengan jaringan bisnis yang menggurita, tetapi beberapa hal mendasar yang harus dipahami adalah perbedaan konsep Ekonomi Partisipatif ini adalah konglomerat tidak mengkonsumsi produk yang dihasilkannya sendiri secara langsung.
§  Konsep Ekonomi Partisipatif mengedepankan pemenuhan kebutuhan sendiri. Atau dengan kata lain, seluruh produk yang dihasilkan dalam siklus sebisa mungkin digunakan secara eksklusif untuk pemenuhan kebutuhan anggota sendiri, baru setelahnya dilepas ke pasar bebas. Tidak ada yang salah dengan self sufficiency ala swadesinya Gandhi. Karena konsumsi atas produk sendiri berarti menjamin kelangsungan usaha dan kesejahteraan pelaku dan peserta usaha. (self sufficiency);
§  Ekonomi Partisipatif mendorong pemerataan kekayaan di antara anggota. Keuntungan yang diperoleh oleh setiap anggota yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan individual proses akan kembali ke komunitas. Dengan wealth sharing/ distribution fluktuasi keuntungan dari sebuah proses juga tidak terlalu berpengaruh, karena ada keuntungan tambahan yang diperoleh dari profit proses-proses yang lain (wealth are shared among members proportionally).
 Melbourne, 22/04/2014

Monday, January 13, 2014

Closed Loop Society - A strategy toward communal wealth.

Bayangkan jika dalam suatu wilayah, pedagang bakso tidak perlu mencemaskan kenaikan harga daging. Sehingga ketakutan berkurangnya keuntungan memaksa dia untuk bertindak jahat mencampur daging sapi dengan daging babi. Berapapun harga yang dipasok oleh pedagang daging rekanannya, dia akan menjual bakso dengan harga yang relative stabil. Di sisi lain, pedagang daging tetap akan berjualan mengikuti harga pasar yang berlaku, sehingga dia menjual harga daging sapi yang sudah naik. Kenaikan tersebut mengikuti perkembangan harga pasar – meski harga pasokan dari peternak langganannya tidak naik. Peternak sapi yang memasok pedagang daging tidak terlalu risau dengan harga jual sapinya yang tidak seimbang dengan tingginya kenaikan harga jual daging sapi.

Jika pedagang bakso mencatatkan kerugian, pedagang daging membukukan keuntungan besar, maka dalam kasus ini keuntungan peternak sapi tidak terpengaruh. Mereka tetap adem ayem. Karena fluktuasi harga di pasar seperti apapun, orang-orang ini mampu memetik keuntungan dari usahanya. Jika yang dibukukan kerugian – seperti pedagang bakso – maka dia menerima keuntungan dari share yang dibukukukan oleh pedagang daging.

Kerugian, sudah pasti terlihat akan dialami oleh orang yang tidak tergabung dalam siklus pasokan daging seperti yang dicontrohkan dalam kasus ini, karena fluktuasi harga menyebabkan usahanya menjadi tidak menentu.

Jika Closed Loop Economy (CLE) merupakan wacana penanganan siklus produksi dan konsumsi produk yang melibatkan berbagai stakeholder. Dalam setiap tahapan proses penanganannya, setiap waste dari proses menjadi inputan yang bernilai bagi proses lain dalam siklus tersebut. Hasil akhir dari siklus tersebut adalah zero atau minimal waste. Dan kalaupun ada waste yang dihasilkan, selalu memiliki value di tempat lain. CLE sudah lebih dulu terkenal, sejak di gagas di tahun 1995, konsep ekonomi ‘zero waste’ ini mendapat sambutan luas di masyarakat.

Diturunkan dr konsep CLE tersebut, Closed Loop Society menggagas sebuah masyarakat yang terlibat dalam sistem ekonomi yang terintegrasi dalam siklus tak terputus.Keuntungan yang dihasilkan pada setiap tahapan proses dalam siklus tersebut merupakan tambahan keuntungan bagi seluruh stakeholder yang tergabung di dalam siklus.

Siklus dari CLS ini mencakup produsen dan konsumen dalam hubungan supply and demand yang saling melengkapi. 


Dalam merumuskan konsep CLS ini, saya tidak ingin terjebak dengan konsep ekonomi yang telah ada, sehingga perlu untuk menentukan batasan-batasan yang sifatnya normatif dalam definisi CLS.

  • CLS bersifat communal. Konsep CLS yang menuntut peranan individu sebagai produsen dan sekaligus konsumen dalam siklus ekonomi, menyebabkan hubungan saling ketergantungan diantara individu (within local community, beyond individual capacity);
  • CLS menuntut partisipasi aktif dari anggota. Untuk meraih keuntungan lebih dari peranan di dalam siklus, anggota siklus harus berperan serta sebagai konsumen atau juga produsen. Bisa saja anggota hanya menjadi peserta pasif dalam siklus – sebagai penanam modal. Tetapi, keuntungan lebih akan terasa jika modal yang disertakan berupa usaha yang merupakan ekstensi/cabang dari siklus tersebut. Prinsip partisipatif ini mendorong seluruh anggota untuk mengutamakan wirausaha dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari (involved all community members);
  • Konsep end to end economy semacam ini bisa saja dilakukan oleh bisnis besar yang menggurita atau konglomerat. Tetapi anda salah jika memhami konsep CLS sebagai pengejawantahan dari konglomerasi. Kenapa? Karena konglomerat tidak mengkonsumsi sendiri produk yang dihasilkannya. Konglomerat tidak memenuhi kebutuhan siklus yang tertutup dalam CLS. (non conglomeration entities);
  • Konsep CLS mengedepankan pemenuhan kebutuhan sendiri. Atau dengan kata lain, seluruh produk yang dihasilkan dalam siklus sebisa mungkin digunakan secara eksklusif untuk pemenuhan kebutuhan anggota sendiri, baru setelahnya dilepas ke pasar bebas. Tidak ada yang salah dengan self sufficiency ala swadesinya Gandhi. Karena konsumsi atas produk sendiri berarti menjamin kelangsungan usaha dan kesejahteraan pelaku dan peserta usaha. (self sufficiency);
  • Last but not least, CLS bisa dilakukan bertahap dan bisa dikembangkan ke dalam siklus-siklus yang lebih dari satu. Jika sebuah siklus pemenuhan kebutuhan berhasil di bangun, dan terhitung sudah mapan, maka bisa dimulai untuk siklus yang lainnya. Sehingga, pada akhirnya seluruh kebutuhan masyarakat bisa dipenuhi secara mandiri, dengan keuntungan dari siklus bisa dinikmati bersama-sama (expandable to the other aspects of economy).

“Tulisan ini merupakan refleksi atas kondisi perekonomian di Indonesia, yang begitu rentan terhadap fluktuasi harga barang. Ketergantungan kita terhadap barang impor menyebabkan begitu rentannya ekonomi masyarakat – terutama masyarakat kecil. Dengan mengkombinasikan prinsip kolaborasi supply chain, dan mutual ownership dalam keanggotaan koperasi – mungkin akan menjadi solusi yang berkesinambungan dalam menghadapi krisis pangan dan krisi ekonomi. Tulisan ini, dan istilah Closed Loop Society dicomot begitu saja dari kamus – tanpa rujukan atau referensi yang kuat. Kesalahan konsep merupakan tanggung jawab saya sebagai penulis. Jika pembaca mengetahui konsep serupa, mohon diinformasikan kepada saya untuk memperkaya wawasan – dan melengkapi konsep yang saya sajikan” -- Melbourne 14/01/2014 di bawah suhu 42 derajat Summer tahun ini.