bisnis online

Saturday, July 13, 2013

Mempertanyakan makna industrialisasi bagi Wonogiri.


Konsep industrialisasi ekonomi muncul seiring dengan berlangsungnya  Revolusi Industri di Inggris (Britania Raya) di akhir abad 18. Dimana masyarakat Inggris beranjak dari  era pertanian tradisional menjadi sebuah masyarakat yang menerapkan teknologi dalam proses usahanya. Berawal dari penerapan mesin untuk menggantikan tenaga manusia, hingga akhirnya menjadi negara yang berbasis manufaktur, berlangsung dalam waktu lebih dari satu abad (1760an - 1850 an). Berawal pada mesin menggantikan tenaga manusia untuk memintal kapas menjadi kain. Yang wajib dicatat dari era revolusi tersebut adalah, perubahan berlangsung gradual, bertahap dan tidak serta merta  pabrik canggih berdiri dalam waktu sekian bulan. Memang mungkin terkait dengan penemuan teknologi pendukung yang berlangsung secara bertahap, tetapi lambatnya penemuan itu justru berdampak positif, karena ketika industri  mulai bergerak perlahan hingga akhirnya ngebut karena tarikan teknologi, seluruh aspek sosial masyarakat juga melakukan penyesuaian secara bertahap.

Wonogiri, harus diakui memang masih berada di tataran masyarakat agraris dalam arti sebenarnya. Belum ada industri dalam skala besar yang beoperasi di Wonogiri, yang tidak berbasis hasil agraris. Kita tidak boleh lupa, bahwa pada masanya pabrik Jamu Air Mancur  memusatkan Wonogiri sebagai basis usahanya. Walaupun pada tahap perkembangannya, pabrik tersebut membangun unit usaha di tempat-tempat yang lain, harus diakui bahwa industri agraris telah begitu mengakar di Wonogiri.

Lalu, kenapa tiba-tiba Wonogiri ingin melompat sekian tingkat dengan membangun pabrik semen? Di satu sisi, kandungan batu kapur yang melimpah di Wonogiri bagian selatan sebagai bahan baku semen, menjanjikan eksploitasi yang tidak akan ada habisnya. Selain itu, pembangunan fasilitas pabrik di kawasan selatan, tentu akan mendorong pembangunan infrastruktur pendukungnya seperti jalan, perumahan, dan sebagainya. Tetapi satu hal yang patut dipertanyakan, seberapa besar efek pembangunan bagi penyerapan tenaga kerja lokal? Seberapa dampaknya terhadap pengembangan PAD? Dan lain sebagainya... Karena, komunitas yang pertama kali terdampak akan pembangunan itu adalah para petani / penggarap yang tinggal di sekitar lokasi rencana pembangunan pabrik. Apakah mereka akan langsung terserap?

Gelombang penolakan pendirian pabrik semen di Giriwoyo oleh perwakilan petani dan didukung sejumlah LSM lingkungan hidup menyebabkan warga Wonogiri terbelah. Di satu sisi, pro-industri semen tertarik atas peluang penyerapan tenaga kerja dan potensi kesejahteraan dari PAD dan berputarnya roda ekonomi di wilayah sekitar pembangunan pabrik. Di sisi lain, dengan argumen terancamnya kelestarian lingkungan hidup dimana pabrik dikhawatirkan akan mematikan sumber air yang digunakan sebagai 'oncoran' buat lahan pertanian warga sekitar. (Di Manjung- Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri juga pernah diwacanakan pembangunan pabrik tekstil, sebelum akhirnya ditolak warga.. Belum lagi pabrik bioethanol yang gagal dibangun di kawasan hutan lindung Alas Kethu. Dan mungkin masih banyak lagi...). Terlepas dari pro dan kontra pembangunan pabrik, disamping arus tuntutan industrialisasi sudah tak terelakkan, di tengah pandangan miring terhadap Wonogiri sebagai wilayah yang tertinggal, apa yang bisa dilakukan jika industrialisasi tidak diwujudkan dalam bentuk pembangunan pabrik yang masif?

Jika kita kembali melihat sejarah industrialisasi di Eropa dan negara-negara maju yang lain, proses industrialisasi yang bertahap saja membawa shock culture masyarakat yang tidak bisa mengikuti perubahan yang berlangsung dalam waktu puluhan tahun. Lalu bagaimana jika perubahan hanya berlangsung sekian bulan (atau tahun), dari yang biasanya bertanam singkong harus berubah menjadi buruh pabrik? (Lagi pula apa petani singkong punya skill menjadi buruh?) Secara kasat mata, membangun pabrik akan memberikan solusi instan bagi masalah tenaga kerja, tapi siapa yang akan diserap sebagai tenaga kerja di situ? Mungkin bukan para petani Giriwoyo sendiri.

Kenapa Wonogiri tidak menjalankan falsafah alon-alon waton kelakon, dengan melakukan intensifikasi usaha pertanian, peternakan, dan industri-industri berbasis agro dan pariwisata alam yang disamping lebih cocok dengan karakter masyarakat agraris Wonogiri, juga akan merangkul semua pihak dalam pertumbuhannya. Tidak diperlukan lompatan besar untuk menuju kesana, tidak perlu kemrungsung, sementara perubahan akan tetap berjalan. Kata kunci dari industrialiasi bisa saja diterapkan untuk Wonogiri, tanpa perlu merubah wajah agraris menjadi manufaktur, yaitu intensifikasi dan mekanisasi untuk menambah produktifitas. Perbanyak penggunaan mesin-mesin pertanian untuk mengurangi ketergantungan terhadap tenaga hewan dan manusia (yang mana ongkos sambatan juga semakin mahal). Lalu dari setiap kegiatan produksi selalu ditawarkan nilai tambah. (Panen singkong dijual dalam bentuk mocaf, peternakan sapi menghasilkan biogas untuk keperluan rumah tangga, sapi dijual dalam bentuk daging bersertifikasi halal dengan pelanggan tetap, dll dsb).

Lihat saja, di Manjung, Wonoboyo yang sedang ngetrend melakukan ternak sapi kereman, dengan harga daging sapi yang melangit belakangan ini, apa yang dikhawatirkan dengan penyerapan pasarnya? Lalu ada desa Pucung di perbatasan timur Wonogiri, apa yang tidak bisa di eksploitasi dari lokasi ini? Panorama yang indah siap untuk dijual dalam paket wisata alam dan outbond. Persediaan pakan dan lahan untuk peternakan yang siap dikembangkan. Pertanian sayur mayur dan lahan yang luas untuk tanaman keras industri. Pertanyaannya hanyalah, tinggal bagaimana 'industrialisasi' di tarik ke sana.

Ternak sapi Kereman di Manjung
Dengan intensifikasi, mekanisasi, dan peningkatan proses yang menghasilkan nilai tambah, impian peningkatan PAD bagi Wonogiri bukan lagi impian. Dan mungkin Wonogiri wajib memikirkan ulang konsep industrialisasinya.


Foto-foto sumbangan dari Mas Yusuf Kunto -Manjung, Wonoboyo, Wonogiri.


Tabung biogas dari kotoran sapi

Saturday, July 6, 2013

Mocaf bisa mengangkat perekonomian Wonogiri, asal...

Semua tentu sudah mahfum bahwa singkong banyak dihasilkan dari Wonogiri. Terlepas dari kandungan karbohidrat dan nutrisi lainnya, singkong atau 'pohung' masih dipandang sebelah mata sebagai makanan kampung, tidak berkelas, dan murahan. Memang harus diakui, bahwa selama ini singkong di posisikan sebagai produk yang identik dengan kawasan kering, miskin dan hanya sebagai cadangan di masa paceklik ketika tanaman lainnya susah hidup. Bahkan, disadari atau tidak, ketika label 'kota gaplek' disematkan kepada Wonogiri, bukan karena menyematkan kebanggaan sebagai penghasil gaplek yang sejahtera, tetapi lebih kepada pandangan rendah terhadap Wonogiri sebagai 'mampunya cuma makan gaplek!' Yang asosiasinya lebih kepada melabeli Wonogiri sebagai kota/kapubaten miskin. (Dan memang betul karena sampai artikel ini ditulis pun Wonogiri masih layak di label i kabupaten miskin karena rendah ya PAD, dan penghasilan dari pajak, dibandingkan dengan beban pengeluaran yg harus ditanggung)

Karenanya, penemuan teknologi pangan yang memodifikasi struktur tepung cassava (tepung singkong) menjadi tepung yang serupa dengan terigu tanpa merubah kandungan nutrisinya (malahan disebutkan mocaf lebih bagus karena gluten free tidak seperti terigu), layak menjadi tumpuan harapan petani singkong di Wonogiri. Dengan berlimpahnya produksi singkong di musim kemarau, selain untuk konsumsi sebelum musim hujan tiba, gairah memproduksi modified cassava seakan memunculkan secercah harapan akan peluang pemanfaatan singkong sebagai produk ekonomi yang bermartabat. Apakah otomatis akan begitu? Ada beberapa hal yang bias menyebabkan peluang emas ini dibawa melenceng dari semangat mensejahterakan rakyat.

Pertama, memproses tepung mocaf membutuhkan skill tertentu berupa penguasaan teknologi pengolahan singkong yang harus mengikuti prosedur tertentu. Selain itu, diperlukan unsur kimia tertentu (enzim) untuk merubah singkong menjadi output yang diharapkan. Juga alat-alat yang spesifik. Konsekuensinya, diperlukan permodalan dan keahlian sebelum bisa berproduksi. Kembali, masalah utama dari masalah perekonomian adalah ketersediaan modal, dan, adanya potensi usaha produktif dimonopoli oleh segelintir orang yang mampu mengakumulasikan modal. Jika produksi dimonopoli sekelompok kecil anggota masyarakat, akibatnya harga beli bahan baku singkong dari petani bisa didikte. Ujungnya, biarpun panen berlimpah, petani singkong tetap saja tidak bisa menikmati keuntungan dari hasil panennya.

Kedua, petani singkong adalah titik terdepan dalam rantai produksi mocaf. Dengan kata lain, petani singkong adalah lapisan terbawah dari piramida ekonomi produksi mocaf. Dengan fakta itu, jika keterlibatan petani sebatas penyediaan bahan baku, bisa dipastikan petani singkong tidak akan menikmati keuntungan pemasaran mocav. Paling banter, hanya menerima multiplikasi dari jumlah singkong yang diserap pabrik mocaf, tidak lebih.

Ketika dihadapkan pada kondisi seperti ini, biasanya kita menggantungkan harapan kepada PEMERINTAH ( dalam huruf kapital - saya hanya ingin menegaskan betapa tingginya - dan parahnya - ketergantungan kita terhadap sebuah institusi, yang entah kenapa seringkali berujung kekecewaan), dan berhenti berupaya secara kreatif untuk mencari solusi dari masalah kita. Tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja, mungkin jika anggota masyarakat bisa bersama-sama memecahkan masalah sosial tanpa tergantung pihak luar, di satu sisi bisa jadi solusi tersebut bisa sustain (awet) karena timbulnya rasa kepemilikan anggota masyarakat. Di sisi lain, akan memperkuat ikatan sosial di antara anggota masyarakat yang terlibat. (CMIIW, saya tidak belajar ilmu sosiologi).

Dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa dilakukan oleh petani? Terlepas dari semangat untuk terus meng-encourage petani dan masyarakat untuk membangun kolaborasi, berserikat untuk meningkatkan kapabilitas dengan koperasi, sudah waktunya menggeser posisi petani dari semata-mata penghasil bahan mentah, menjadi komponen produksi yang memberikan nilai tambah dalam rantai produksi mocaf (dan hasil-hasil pertanian lainnya). 

Sunday, June 30, 2013

Kolaborasi - Strategi Mengatasi permainan tengkulak di musim panen.

Wonogiri sedang panen raya. Di hampir seluruh wilayah semua petani melakukan
panen padi. Tetapi, panen seakan tidak ada artinya di tengah kenaikan harga BBM dan menjelang puasa dan lebaran, bisa dipastikan harga-harga akan meroket tinggi.
Lebih celaka lagi. Seakan sudah menjadi pakem, bahwa ketika panen raya dan hasil panen berlimpah, justru hasil akan anjlok serendah-rendahnya. Jadi sudah kasat mata, bahwa banyaknya hasil panen seakan tidak cukup untuk menutup biaya produksi dan menyisakan keuntungan buat petani.

Bagaimana strategi menjual hasil panen dengan harga yang tinggi? Jawabannya jelas sekali: jangan jual ketika musim panen sewaktu produk berlimpah, tetapi juallah pada waktu musim tanam dan produk langka di pasaran. Jawaban yang sederhana, dan saya yakin logika akal sehat kita (terutama dalam hal ini anda) akan mengiyakan.
Yang menjadi masalah adalah, bagaimana bisa menahan barang ketika musim panen, dan menjualnnya ketika musim paceklik tiba?
Strategi untuk mengatasi ini, menurut saya, terletak pada sebuah budaya yang sudah lama dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Dan kalau diceritakan pada anak-anak sekarang ini, mereka seperti mendengar sebuah dongeng dari negeri antah berantah - sesuatu yang seakan absurd dan tidak nyata. Apakah itu: MENYIMPAN PANENAN DI LUMBUNG DESA!!!

Coba anda melihat ke sekeliling, desa mana yang masih mempunyai lumbung penyimpan hasil panenan? Saya pernah melihat liputan Trans7 tentang sebuah suku Badui di Jawa Barat masih melakukan praktek meyimpan padi hasil panenan mereka. Simpanan padi tersebut akan digunakan untuk cadangan makanan sampai panen yang akan datang, sekaligus untuk menyiapkan bibit yang akan ditanam pada musim tanam berikutnya.

Coba anda lihat lagi apa praktek yang berlaku di sekitar kita? Terlepas dari tolong-menolong pada waktu panen dalam bentuk 'sambatan' atau saling bergantian membantu melakukan panen. Apa yang dilakukan para petani terhadap hasil panenannya? Sudah bisa dipastikan, setelah sedikit dikeringkan (biasanya dengan cara dijemur) panenan langsung dijual kepada pembeli -biasanya tengkulak - yang membeli dengan harga rendah dengan alasan hasil panenan berlimpah di pasaran. Secara logika mekanisme penjualan ini sangat menghancurkan harga, dan sekaligus memangkas habis keuntungan para petani (stelah dipotong biaya-biaya tanam).

Salah satu solusi dari permasalahan ini, sebenarnya bisa dilakukan dengan pendekatan komunitas. Seperti yang saya diskusikan di tulisan terdahulu, kekuatan komunitas bisa mengangkat kepelikan permasalahan sosial. Dalam hal ini, koperasi akan memegang peranan vital dalam mengelola/mengontrol mekanisme penjualan hasil panen, sehingga petani tidak menjadi korban permainan harga tengkulak.

Sebagai Ilustrasi, jika siklus panen dua kali dalam setahun, maka dalam waktu berselang 4 bulan, dihasilkan panenan baru. (Kenapa bukan 6 bulan? Jangan lupa ada jeda antar panen ketika musim kemarau. Dan musim tanam tidak / belum bisa dilakukan ketika musim hujan baru mulai). Ketika panen dihasilkan dengan jeda 4 bulan, maka ada waktu sekitar 7 sampai 8 bulan sebelum panenan bisa dihasilkan.

Secara siklus harga jual, waktu panen adalah harga jual yang paling rendah. Sebaliknya pada waktu 7 - 8 bulan di musim kemarau, harga jual akan mengalami puncaknya.

Nah jika ketika panen hasilnya disimpan di Koperasi (jaman dulu masih dikenal KUD ya..), dan dijual ketika musim kemarau, maka pendapatan petani akan lebih banyak - relatif dibandingkan hasil penjualan ketika musim panen.

Satu pertanyaan yang muncul dari sini adalah, jika petani tidak menjual hasil panennya, bagaimana petani mencukupi kebutuhan hidup? Di sini koperasi memainkan peranan vital. Koperasi (dimana petani juga menjadi anggotanya) akan memberikan bahan-bahan pokok sehari-hari, dan juga pinjaman uang kepada petani. Yang nantinya akan dibayar dengan hasil penjualan panen (yang saat bahan pokok tersebut diberikan sedang dijual di gudang nya koperasi).

Tentunya management stock dan sirkulasi diperlukan, mengingat penyimpanan hasil panen juga berpotensi kerusakan/hama.

Tetapi secara umum, pemaparan singkat ini akan memberikan gambaran singkat bagaimana timing penjualan akan mempengaruhi peningkatan pendapatan. Dan petani tidak akan terjebak pada lingkaran setan kemiskinan.


Melbourne, 01/07/2013





Thursday, June 20, 2013

Menyelesaikan masalah dengan menyederhanakannya.

Judul posting yang membingungkan :)
Sebenarnya ide tulisannya simpel saja, tentang bagaimana mengurai masalah yang rumit, dan menyelesaikannya. Analogi 'bolah ruwet', tentunya tidak bisa menguraikan benang yang kusut tanpa menemukan terlebih dulu ujung pangkal benang. Setelah ketemu baru sedikit demi sedikit kedua ujung benang ini di urai. Sesederhana itu masalah? Ya memang tidak. Tapi memandang persoalan pelik dengan pola pikir yang berbelit juga tidak akan menylesaikan masalah.

Jadi, ketika dihadapkan persoalan pelik, tenangkan pikiran, cobalah keluar dari pola pikir rutin anda. Pecahkan pembungkus kebntuan dan uraikan/selsaikan masalah satu per satu.



Tuesday, June 18, 2013

Revitalisasi asset - Perencanaan yang menyeluruh.

Dari seorang teman yang bekerja di BPPT saya memperoleh informasi bahwa dia memimpin proyek pembangunan fasilitas pengolahan bioethanol di wilayah Kismantoro tahun 2005-2007. Desain dan peruntukan fasilitas itu adalah mengolah bahan baku sorghum menjadi bahan bakar alternatif (bio-ethanol) yang sustainable. Sebuah ide yang luar biasa bukan? Betul-betul gagasan yang brilliant jika saja si perumus proyek tidak lupa memastikan bahwa di Wonogiri tidak lagi ditanam Sorghum !! (Saya check dengan ortu yang mengalami masa 50-70an, memang waktu itu sorghum bisa ditemui dengan mudah di tegalan-tegalan sebagai alternatif tanaman pangan- tetapi sorghum sudah dilupakan sejak era 90an). Informasi dari teman saya, terpaksa dia merubah spesifikasi alat sehingga bisa di pasok dengan tetes tebu.

Ada beberapa hal yang mungkin bisa kita jadikan pembelajaran betapa pentingnya pengambilan keputusan (dalam hal ini penentuan spesifikasi alat, dan lokasi pabrik) selalu memperhatikan aspek-aspek dalam konteks yang lebih luas, bukan hanya sekedar bahwa harus ada fasilitas bio-ethanol saja.
Yang pertama, seandainya saja perencanaan pabrik di sertai dengan perumusan supply chain, tentunya akan disertai kajian ketersediaan bahan baku. Bagaimana bisa sebuah pabrik dibangun dengan spesifikasi alat berbahan baku yang tidak sesuai, tidak tersedia di sekitar lokasi dengan kalkulasi ekonomis. Sorghum memang dikembangkan di wilayah Banyuwangi - tetapi jarak tempuh ke Wonogiri tentunya tidak ekonomis. Memang pada akhirnya bahan baku bisa dipenuhi dengan tetes tebu, tetapi perlu di ingat bahwa pabrik tebu terdekat ada di wilayah Karanganyar. Jikapun bisa dibeli dari sana, bukankah itu berarti mengurangi potensi pendapatan petani lokal (Wonogiri) dan sekaligus mempertinggi biaya produksi?

Yang kedua, jika memang secara perencanaan pabrik nantinya akan dipasok dengan sorghum, secara lokasi pabrik tentu akan didekatkan dengan lahan yang potensial ditanami sorghum. Berdasarkan referensi dari wikipedia,  sorghum sangat sesuai ditanam di area yang luar biasa kering, dengan sedikit curah hujan dalam setahun. Membaca spesifikasi tanaman sorghum bicolor ini, yang langsung terbayang di benak saya adalah kawasan selatan Wonogiri. Daerah Giriwoyo bagian selatan, Paranggupito ke barat hingga Pracimantoro, adalah pelanggan tetap tangki air setiap musim kemarau. Artinya, curah hujan sangat minim yang mengakibatkan palawija - bahkan singkong sekalipun - kesulitan untuk bisa tumbuh. Tapi hal yang sama tidak berlaku bagi sorghum!! Justru sorghum akan tumbuh dengan baik dengan karakteristik curah hujan dan kondisi air tanah yang semacam ini, dan tentunya bukan di wilayah Kismantoro yang 'relatif' melimpah. (Mungkin saja Kismantoro mengalami dampak kekeringan ketika kemarau, tetapi tidak separah wilayah selatan Wonogiri).

Yang ketiga, jika saja ada perencanaan yang matang dalam pengambilan keputusan instalasi infrakstruktur ini, tentunya bisa menjadi alternatif solusi untuk kepentingan yang lebih luas - petani kecil, dan potensi PAD bagi Wonogiri. (Saya tidak menyebutkan sebagai investasi karena saya tidak tahu keputusan instalasi infrastruktur bio-ethanol ini sifatnya proyek pusat atau bagaimana).  Jika saja instalasi ditempatkan di Pracimantoro - misalnya, maka beberapa keuntungan sekaligus bisa di peroleh. Seperti misalnya bekembangnya industri di kawasan selatan. Jika ada industri, tentunya infrastuktur (jalan dan komunikasi) akan bisa di prioritaskan di wilayah itu. Selanjutnya jika ada pabrik berbahan baku sorghum, petani di wilayah yang terdampak kekeringan akan memiliki sumber penghasilan ketika musim kemarau. Pabrik bio-ethanol tentunya akan lebih ekonomis jika beroperasi sepanjang tahun. Yang itu berarti petani juga bisa bertanam sorghum sepanjang tahun. Ujung-ujungnya adalah peningkatan penghasilan petani, dan bergeraknya roda ekonomi.

Anyway, just my 2 cents. Semoga saja semakin banyak pemikir dan pemimpin Wonogiri yang fokus pada pengembangan wilayah kita. Kita doakan secara berjamaah. Amin.


-=0 Melbourne puncak winter 2013. Membayangkan naik motor di jalur selatan antara Giribelah - Eromoko di musim kemarau. Panasnya udara plus debu yang menyembur ke muka, tak terlupakan. 0=-



Sunday, June 16, 2013

Meraih Kesejahteraan Bersama dengan peningkatan Optimalisasi Supply Chain

Dalam beberapa post saya di blog ini, microfinance sebagai alternatif menembus tembok permodalan bagi pengusaha 'extremely micro' (saking kecilnya). Terutama dari keluarga yang tidak beruntung baik dalam akses ke bank, maupun kepemilikan aset. Selain memberikan kesempatan berkembang bagi pengusaha yang tidak 'bankable' karena tidak adanya aset sebagai jaminan, ada potensi untuk menggunakan konsep microfinance sebagai katalisator mengangkat kesejahteraan masyarakat dalam skala yang lebih luas. Bagaimana caranya?
Dalam setiap usaha yang dikembangkan dengan konsep microfinance, selalu ada dua relasi yang mnenyertai supplier dan buyer. Dalam hal ini, klien microfinance kita sebagai produsen berada di tengah-tengah, di antara keduanya. Memperluas jangkauan management microfinance ke depan (ke supplier) dan ke belakang (ke arah buyer) akan membawa efek berlipat yang di dorong dengan pembiayaan microfinance. Kembali, saya berikan contoh kongkret dari konsep ini.
Contoh kasus (kalkulasi angka hanya sebagai ilustrasi saja, bukan dari data riil):
Katakan pak Fulan yang seorang pedagang tapai singkong menjadi klien microfinance kita. Sehari-hari pak Fulan mengolah tapai dari singkong yang dipanen sendiri atau dibelinya dari petani singkong. Dimana, dari 20 kg singkong, pak Fulan bisa menghasilkan 12 - 16 kg tapai singkong setelah 3 hari diolah. (Tapai singkong memerlukan dikupas, direbus, peragian, dan pemeraman).
Dua pihak yang berhubungan langsung dengan usaha pak Fulan adalah petani singkong (atau pedagang singkong) dari siapa pak Fulan memperoleh bahan bakunya (selain dari kebun sendiri), dan pembeli tapai buatan pak Fulan. Yang secara hubungan bisa digambarkan seperti berikut:

SUPPLIER --> Fulan --> BUYER

Jika terjadi perubahan pada usaha pak Fulan, maka kedua pihak tersebut akan terkena imbasnya, baik berupa imbas peningkatan atau penurunan. Katakan jika pak Fulan bisa menambah produksi dengan pembelian bahan baku hingga 30 kg, maka Supplier akan secara langsung meningkat omset penjualan singkongnya. Begitu juga bagi pihak buyer. Si buyer akan memiliki kesempatan untuk membeli tapai lebih banyak lagi. Efek berantai serupa akan terjadi jika ternyata pak Fulan sakit - dan tidak bisa memproduksi tapai. Supplier kehilangan omset, Buyer kehilangan pasokan.

Kendala dari peminjaman modal bagi pengusaha kecil bukan hanya besaran pinjaman modal yang bisa diperoleh oleh setiap pengusaha super mikro. Tetapi termasuk juga minimnya pengetahuan si pengusaha dalam manajemen usahanya. Diantaranya kurangnya kemampuan dan pengetahuan untuk menjamin semua pinjaman digunakan untuk keperluan usaha, dan pengelolaan pasokan bahan baku. Seringkali, pengusaha super mikro membutuhkan dana untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga pinjaman yang sedianya untuk pengembangan usaha terpakai untuk - membeli beras - misalnya. Yang mengakibatkan, bukan saja usahanya akan terpengaruh secara kapasitas dan omset, tetapi juga terhadap kemampuan mengembalikan pinjaman.

Lalu bagaimana strategi microfinance akan menjamin kelancaran usaha pak Fulan?
Di sini, konsultan akan melakukan peranan penting terkait dengan pengelolaan bisnis pak Fulan dan sekaligus  menerobos ke dalam jalur supply chain nya. Ke dalam bisnis pak Fulan, konsultan akan membimbing penyusunan pembukuan sederhana. Berupa pencatatan transaksi pembelian, penjualan, dengan tujuan agar kalkulasi laba rugi bisa ditampilkan sebagai dasar kalkulasi bagi hasil. Tentunya semua di upayakan secara sesederhana mungkin.
Kepada pemasok, konsultan berusaha memastikan pemenuhan kewajiban pembayaran order bahan baku. Dengan cara memberikan pembayaran order bahan baku secara langsung kepada pemasok. (Bukan diberikan kepada Pak Fulan). Dalam hal ini, konsultan senantiasa melakukan bargaining dalam upaya memperoleh harga pasokan seekonomis mungkin. Harga pasokan ini dari waktu ke waktu terus dievaluasi.
Nilai nominal pembayaran kepada pemasok ini lah yang akan dijadikan dasar perhitungan pinjaman oleh Pak Fulan. Sehingga terlihat bahwa, strategi menjamin kelancaran pembayaran kepada pemasok, akan membantu pak Fulan menjaga likuiditas pembayaran pinjamannya.


Monday, June 10, 2013

Strategi mendulang kesejahteraan dari sektor pertanian

Petani Indonesia identik dengan kemelaratan. Itu sudah jamak. Yang lebih mengenaskan adalah mereka hanya memperoleh perhatian lima tahun sekali menjelang pemilu. Dengan dijadikan komoditas jualan dalam kampanye, dengan tujuan mendulang suaranya sebagai pemilih. Sisanya yang 4 tahun, kesejahteraan hanya impian semata.

Kalau diamati, kenapa petani tidak juga bisa memperoleh kesejahteraan? Kalau dalam bisnis yang lain memerlukan dan wajib punya strategi, menjadi petani pun harus menerapkan jurus yang jitu agar dalam jangka pendek bisa survive, dalam jangka panjang bisa memperoleh posisi yang setara atau lebih tinggi daripada profesi lain. Kenapa?

Alasan pertama adalah karena petani (rata-rata petani, tidak seluruhnya) adalah pemilik aset (lahan pertanian). Dalam bisnis, pemilik aset seharusnya memiliki power lebih tinggi daripada pengguna aset tersebut. Yang memungkinkan pemilik aset tidak di dikte atau di atur-atur oleh pihak lain. Celakanya, semakin banyak petani pemilik lahan yang memilih untuk menjual aset kepada orang lain karena keinginan jangka pendek, misalnya untuk beli moto atau mobil. Dalam hal ini, petani semacam itu akan kehilangan aset paling berharga dari bisnis nya.

Alasan kedua, makanan adalah komoditi masa depan. Artinya, produsen bahan makanan (baca: hasil pertanian) adalah pemilik komoditi di masa depan. Dalam waktu tiga puluh tahun ke depan, ketika jumlah penduduk bumi mencapai 8 milyar atau lebih, mereka semua perlu makan. Darimana bahan makanan akan diperoleh? Tentunya dari pertanian. Lalu kalau semua lahan dikonversi menjadi perumahan, siapa yang akan menghasilkan bahan makanan?

Nah, lalu bagaimana mensiasati supaya petani bisa memanfaatkan keunggulan dari profesinya?
Strategi pertama adalah lepas dari jeratan kemiskinan financial dan informasi. Lah, blunder kan? Sebagian orang beranggapan bahwa jadi petani adalah pilihan terakhir karena tidak memiliki pendidikan, tidak cukup skill untuk jadi karyawan atau buruh. Sedangkan tidak memiliki dana yang cukup akan menghalangi anak untuk bersekolah. Jadinya petani ditempatkan pada lingkaran setan tingkat pendidikan dan kesulitan ekonomi. Paradigma ini menempatkan profesi petani seakan-akan sebagai kasta terendah dalam strata sosial. Pemikiran ini yang harus di rubah, di masa depan petani Indonesia harus minimal Sarjana. Atau paling tidak mereka rajin baca koran, terupdate info global terkini, atau melek internet.  Sehingga tidak akan ada lagi penipuan oleh politikus yang mengatasnamakan kepentingan petani dan rakyat kecil. Ketika informasi masuk kepada para petani, bargaining position mereka naik, karena mereka memiliki alternatif informasi selain yang di suarakan oleh pihak-pihak yang ingin mencapai kepentingannya sendiri.

Strategi yang kedua adalah keluar dari perangkap profit. Inti dari bisnis adalah berproduksi (atau dalam konteks pertanian menghasilkan panenan) dengan biaya serendah-rendahnya, untuk kemudian menjual dengan harga setinggi-tingginya. Begitu juga dengan pertanian, bagaimana caranya supaya bibit, pupuk, pengolahan, tenaga kerja yang digunakan diperoleh dengan biaya seminim mungkin, supaya ongkos produksi rendah. Dan cari pembeli yang mau membeli dengan harga paling tinggi. Terdengar absurd? Mungkin sekali untuk kondisi Indonesia saat ini. Ketika semua bibit dan pupuk harus diimpor, di monopoli oleh segelintir pengusaha, penentuan harga tentunya akan di dominasi oleh mereka. Sebaliknya ketika giliran panen, tengkulak akan membeli dengan harga serendah-rendahnya. Sampai-sampai profit pun tidak cukup untuk hidup petani diantara dua masa panen.

Terus bagaimana jalan keluarnya? Untuk keluar dari perangkap profit, petani harus keluar dari rutinitas menanam ketika musim tanam kemudian dijual ketika musim panen. Untuk itu paradigma petani harus dirubah menjadi: MEMBELI BIBIT KETIKA MUSIM PANEN, MENANAM KETIKA MUSIM TANAM, MENJUAL KETIKA PACEKLIK. Dan semuanya harus dilakukan secara SINERGI.


Wednesday, June 5, 2013

Mutual Banking - Ketika Pemilik modal adalah sekaligus nasabah.

Dedicated for: http://www.facebook.com/groups/suararakyatwonogiri/
(Setitik pemikiran diantara gagasan-gagasan besar member SRW yang luar biasa)

Dalam diskusi kita di tulisan terdahulu mengenai microfinance sebagai alternatif pendekatan permodalan bagi masyarakat yang tidak bankable, dalam ilustrasi kasus pinjaman dari kelompok, saya sedikit sudah menyinggung tentang sebagian dari hasil pengembangan menjadi kontribusi peminjam terhadap modal perusahaan.

Di beberapa negara barat, konsep semacam itu dikenalkan sebagai 'mutual banking' practice. Dimana nasabah bank yang menggunakan dana bank, sekaligus memiliki penyertaan modal di bank tersebut. Uniknya, karena pasar yang di bidik sangat spesifik, bank-bank didirikan berdasarkan komunitas, dan fokus pada komunitas yang memiliki kesamaan tertentu. Misalnya sama-sama guru, atau komunitas yang tinggal di suatu daerah yang sama. 

Yang menjadi catatan saya adalah, di Indonesia kita mengenal konsep yang mirip seperti itu dengan label yang berbeda. Kita mengenal koperasi dengan anggota yang terbatas, yang setiap anggota memiliki andil dalam permodalan maupun dalam operasional koperasi. Misalnya simpanan pokok dan simpanan wajib menjadi kontribusi tetap anggota terhadap permodalan. Sedangkan dalam operasional, koperasi memiliki usaha yang bisa memutar modal yang dimiliki dengan tujuan menghasilkan profit. Jika dalam beroperasinya usaha ini menghasilkan profit besar, maka keuntungan yang diperoleh anggota juga semakin besar. Simpan pinjam, misalnya, memang menggiurkan bagi unit usaha koperasi. Karena dengan usaha yang relatif sederhana, profit yang dihasilkan sudah bisa dipastikan masuk setiap bulan (atau periodik hingga pinjaman lunas). (Mohon di catat, bahwa saya tidak menganjurkan menerapkan simpan pinjam sebagai aktifitas dalam berkoperasi. Kenapa? Akan kita bahas di posting yang lain).
Apapun istilah yang digunakan, konsep partisipatif dalam pengelolaan modal dan operasional usaha, akan mempercepat pemerataan kesejahteraan anggota.

Melbourne, 0/06/2013

Wednesday, April 24, 2013

Microfinance -memberantas kemiskinan dari sumbernya

Dedicated for: http://www.facebook.com/groups/suararakyatwonogiri/
Setitik pemikiran diantara gagasan-gagasan besar warga SRW.

Istilah usaha yang tidak 'bankable' sering sekali kita dengar ketika pembicaraan masalah usaha yang tidak layak memperoleh kredit dari kreditor (bank, BPR, BMT dll) dan sering menjadi momok bagi pengusaha pemula dalam memperoleh pinjaman untuk kepentingan usahanya. Kendala utama dalam mengakses pinjaman permodalan adalah tiadanya asset yang bisa dijaminkan. Saking miskinnnya si pengusaha. Pengusaha pemula bukan hanya pengusaha yang sedang memulai usahanya, bukan hanya itu. Tetapi juga pengusaha-pengusaha kecil yang sudah menjalankan usahanya bertahun-tahun atau orang-orang yang tidak memiliki kesempatan memulai usaha tetapi tidak juga bisa memulai karena alasan: keterbatasan modal. Dari 230 juta penduduk Indonesia, hanya  1,58 persen yang berwirausaha (data Menko Kesra Jan 2013). Meskipun data tersebut sangat global, dengan asumsi di luar angka tersebut penduduk berprofesi sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, pekerja non-formal dan yang tidak bekerja, maka bisa dibayangkan betapa beban sosial yang ditanggung. Apalagi lebih dari 28% penduduk Wonogiri dalam kategori miskin (data Kementrian Sosial Maret 2013).

Apakah susah mengurai keruwetan sosial dan ekonomi? Saya yakin asal mau berpikir sedikit inovatif dengan berbekal jamu 'kepedulian' masalah ini bisa diurai. Sebelumnya patut diapresiasi upaya-upaya terobosan DRD Kabupaten Wonogiri dalam mengupayakan pengentasan kemiskinan. Dan kita sebagai warga mesti memberikan support dan masukan-masukan yang bermanfaat. Semoga alasan klasik birokrasi dan arus informasi tidak menjadi halangan kecepatan Pemkab Wonogiri dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang sudah begitu sistemik (menggurita, turun temurun, sudah pada tataran ber-mindset: 'wis takdir e ngono').

Selain mengharapkan bantuan pemerintah pusat dan program CSR (corporate social responsibility), pola mikrofinance yang dikenalkan oleh Grameen Bank layak untuk diadopsi dalam menyelesaikan masalah permodalan. Di Bangladesh, M. Yunus memperkenalkan konsep pinjaman bergulir kepada masyarakat miskin yang tidak bankable, terutama pada wanita. Pinjaman yang diberikan tersebut tidak memerlukan agunan fisik berupa asset yang dijaminkan (tentu saja, nasabahnya kan orang-orang miskin yang bisa jadi tidak punya apa-apa untuk dijaminkan). Sebagai gantinya, pinjaman diberikan kepada kelompok beranggota 5 - 6 orang yang menggunakan dana pinjaman sebagai modal usaha. Sebagai calon peminjam dipilih ORANG-ORANG YANG PALING MISKIN di lingkungannya. Kelompok ini yang bertanggung jawab untuk mengatur komposisi penggunaan pinjaman untuk anggota kelompoknya, sekaligus bertanggung jawab jika terjadi kegagalan bayar dari orang-per-orang. Hasilnya, tercatat tingkat pengembalian sebesar 96,67% pada periode tahun 2010-2011. Ini bisa menjadi bukti bahwa orang miskin juga layak diberikan pinjaman. Mereka memiliki skill, tapi tidak cukup kesempatan untuk memperoleh modal.

Tentunya, ada yang perlu di modifikasi dari pola operasional Grameen Bank jika di terapkan di Wonogiri. Besaran bunga pengembalian pinjaman yang mencapai 20% di Grameen Bank, harus di rubah menjadi sistem bagi hasil murni. BAGI HASIL yang saya maksud di sini bukan 'kamuflase' dari bunga pinjaman sekian persen dari yang dihitung dari nominal pinjaman lalu di label i sebagai 'profit margin' bank. (Metoda seperti ini jamak terjadi di bank-bank berlabel syariah di Indonesia - Maaf). Tetapi benar-benar bagi hasil usaha produktif, yang dihitung dari profit margin yang diusahakan si peminjam. Dengan bantuan management perencanaan usaha, pembukuan, dan konsultasi management dari bank, Insya Allah konsep profit sharing (bagi hasil) bisa lebih berkah bagi kedua belah pihak. Hasil dari profit sharing pun bisa diarahkan kepada pengembangan internal.

Mari kita dalami dengan angka-angka nyata. contoh kasus, Bu Fulanah dan kelompoknya 5 orang meminjam  dana Rp 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) dengan peruntukan usaha yang sama, yaitu bertanam Jagung. Siklus pinjaman selama 4 bulan (mulai dari pengadaan bibit, pengolahan lahan, pupuk, obat hama, panen hingga penjualan). Dalam contoh ini, tidak semua anggota kelompok menggunakan dana pinjaman, dan distribusi pinjaman tidak sama besar. Terlihat pada tabel di bawah, Bu E tidak meminjam dana. dan distribusi pinjaman bervariasi mulai dari 1 Juta rupiah hingga 4 juta perorang.

Singkat kata, pada bulan ke-4 masing-masing peminjam menghasilkan profit yang ditampilkan pada baris 'Profit'. Dengan komposisi bagi hasil 30:35:35 dimana 30% pertama adalah bagi hasil untuk peminjam (Profit Sharing 1). 35% pertama dicatat sebagai kepemilikan modal (Profit Sharing 2), sedangkan 35% yang kedua diberikan kepada bank (Profit Sharing 3).

Tabel Contoh komposisi pinjaman dan bagi hasil Dana Jamaah.
Dari tabel di atas terlihat bahwa:

  1. Masing-masing anggota yang memanfaatkan dana memperoleh keuntungan langsung dari bagi hasil sebesar rincian di lajur Profit Share 1. 
  2. Profit Share 2 adalah proporsi kontribusi peminjam kepada Dana Jamaah (dana yang akan digunakan untuk pinjaman bergulir selanjutnya). 
  3. Kelompok peminjam akan mengembalikan dana sebesar Rp 12.275.000, - dengan rincian 10 juta pokok pinjaman, Rp 1.137.500,- keuntungan bank dari pinjaman. Dan Rp 1.137.500 adalah kontribusi kelompok peminjam terhadap total modal pinjaman. 
  4. Dari total kontribusi dalam satu kali sebesar Rp 1.137.500,- masing-masing anggota kelompok mencatatkan kontribusi sebesar Rp 227.500,- Dalam hal ini Bu E yang tidak menggunakan pinjaman juga memperoleh alokasi kontribusi karena dia juga berperan dalam 'penjaminan sosial' yang memastikan pengguna pinjaman untuk mengembalikan modal pada waktunya. 

Pola pinjaman semacam ini akan lebih mudah dikelola jika digunakan untuk mengembangkan usaha berbasis commonality. Karena kesamaan siklus pinjaman dalam hal jangka waktu, pola pengadaan barang, dan pola pemasaran.

Di jaman ketika kapitalisme merebak hingga ke seluruh sendi-sendi kehidupan maasyarakat seperti sekarang ini. Kalkulasi untung rugi angkawi mengalahkan perhitungan sosial dan kalkulasi potensi dampak nya bagi masyarakat secara umum. Pemikiran seperti inilah yang harus kita lawan dengan tindakan nyata, membangkitkan jiwa usaha dari lapisan masyarakat termiskin di Indonesia (dimulai dari Wonogiri). Dengan cara memberikan dukungan modal usaha, pelatihan management, dukungan pemasaran dan menjalin jaringan yang menguatkan. Karena ketika sebuah usaha riil dijalankan oleh sebuah keluarga, ketergantungan keluarga tersebut kepada pihak lain (pemberi kerja) akan berkurang. Pada saat itu harkat dan martabat sebagai manusia yang mandiri akan terangkat. Jika beberapa keluarga yang lain melakukan hal yang sama (menjalankan usaha mandiri), maka semakin banyak keluarga yang terbebas dari ketergantungan kepada pihak lain. Jika sebelumnya menjadi konsumen (consumer), maka selanjutnya akan berubah menjadi produser atau mediator. Sedikit demi sedikit, lama-lama akan terbentuk bola salju yang terus menggelinding menjadi semakin besar, dan tak terbendung. Pada saat itulah Kesejahteraan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan terwujud. (plesetan dari sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).

(Melbourne 25/04/2013 - ANZAC Day Break).
Maaf kalau harus saya sampaikan, bahwa perayaan ANZAC Day menyakiti hati kami sebagai umat Islam. Karena anda merayakan hari dimana pahlawan-pahlawan anda menjajah negeri saudara kami. Perayaan kemenangan anda adalah hari dimana kami mengenang pembantaian mereka terhadap saudara-saudara kami.

Friday, April 12, 2013

Memulai dengan Mensortir (Tentang Sampah lagi)

Saya sempat kagum dengan pemisahan tempat sampah dua warna di Lingkungan Wonokarto Wonogiri. Saya yakin program serupa juga sudah digalakkan di seluruh kawasan Wonogiri - khususnya di kota-kota kecamatan. Artinya, waste management sudah berada di 'jalan yang lurus'. :)

Tetapi, harusnya tidak berhenti di sortir sampah saja. Langkah berikutnya adalah, memastikan armada pengangkut 'memperlakukan' sampah yang sudah dipilah tersebut sesuai dengan tujuan akhirnya. Sampah basah di perlakukan sebagaimana sampah basah, dan begitu juga sampah kering. Jika ternyata setelah dipilah, kedua jenis sampah hanya di masukkan gerobak yang sama. Terus apa untungnya sampah dipilah?

Jika ternyata memang sampah nantinya di tangani dengan sama saja antara sampah basah dan kering, mungkin waktunya mengarahkan pengelolaan sampah ke arah program daur ulang. Jadi, sebagai pengganti pemilahan sampah "organik" dan 'anorganik', yang bisa dilakukan adalah merubahnya menjadi 'sampah' dan 'daur ulang'. Untuk tahap awal, hanya barang yang bisa di kelola daur ulang nya saja yang dimasukkan ke dalam tong 'daur ulang'. Seperti botol plastik, casing TV / komputer / monitor, kantong plastik (betul kresek sudah bisa di daur ulang), kertas, karton, kardus, botol, botol kaca. Selain itu, dimasukkan ke tong 'sampah'. (Daftar item recycle-able ini pun bisa berkurang jika masih belum mampu mengelola. Apalagi saya kira penanganan akan dilakukan manual secara manual). Ke depan kita boleh bermimpi akan menggunakan mobil sampah yang lebih canggih yang mengambil tong sampah dengan lengan robot - misalnya. tetapi, selagi di Wonogiri tenaga kerja masih berlimpah, kenapa tidak dimanfaatkan untuk membuka lapangan kerja? Selain itu, perlu diingat juga jalan-jalan kita relatif sempit dan tidak tertata. Jadi mobil sampah semacam ini akan kurang efektif.


Pada tahap sortir, mungkin ada baiknya untuk di kenalkan penggunaan tempat sampah beroda dengan identifikasi warna untuk masing-masing jenis sampah. Misalnya pada gambar di bawah, tong dengan tutup hijau untuk sampah basah dan non-recycleable, tutup kuning untuk recycleable, sedang tutup merah (untuk apa ya???? he he..contohnya kebanyakan). Keuntungan menggunakan tong beroda adalah mudah untuk di keluar-masukkan ke halaman. Tempat sampah tidak harus berada di luar pagar, dengan alasan keamanan (mungkin nggak di Wonogiri tempat sampah semacam ini hilang?) karena mencegah kehilangan, juga keamanan supaya tidak menimbulkan kecelakaan karena tertabrak pengendara sepeda motor - misalnya.



Tetapi dengan kondisi sosial di Wonogiri saat ini, saya kira pengelolaan sampah dengan petugas mengambil ke rumah-rumah hanya sesuai untuk sampah basah saja. Dengan keberadaan pasukan pemulung yang mengorek tempat sampah untuk mengambil recycleable items, saya kira metode yang efektif untuk pengumpulan sampah daur ulang adalah tetap dengan menggalakkan bank sampah. Karena selain jangan sampai timbul konlfik dengan pemulung dan pengepul sampah, tugas bank sampah yang ada di tingkat RW atau kelurahan adalah mengepul sampah daur ulang, pencatatan dan memastikan sampah sudah di sortir dan dalam kondisi bersih. Baru petugas dari Pemkab mengambil ke lokasi bank sampah secara peiodik dalam kondisi sampah daur ulang sudah siap diproses.

Melbourne - 12/04/2013
Kredit foto-foto dari internet. Di Jakarta sudah ada yang memproduksi tempat sampah beroda dari fiber. Truck sampah berlengan robot semacam foto ini sudah di gunakan di Melbourne.

Wednesday, April 10, 2013

Menggagas sampah sebagai Competitive Advantage bagi Wonogiri.

Bank sampah semakin marak di berbagai daerah. Bukan hanya di ibu kota, kota-kota besar lainnya seperti Surabaya pun semakin mengambil bagian sebagai gerakan masyarakat melawan dan memanfaatkan sampah. (kita bicara sampah rumah tangga, bukan 'sampah masyarakat'), begitu juga di Wonogiri. Bahkan saya sempat melihat (sayang belum sempat mengunjungi) salah satu bank sampah yang aktif di Wonokarto, Wonogiri. Upaya-upaya semacam ini dari masyarakat harus diapresiasi, begitu juga perhatian pemerintah daerah melalui Kementrian KLH. Perlu kreatifitas dan kepedulian untuk mengembangkan usaha-usaha serupa di seluruh Wonogiri. Dan saya yakin bisa menjadi salah satu andalan dalam mengembangkan kerjasama Commonality.

Jika dalam skala industri rumahan saja prakarsa semacam ini bisa berjalan, bagaimana dengan potensi Pemkab untuk memanfaatkan sampah sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah? Pemkab Wonogiri bisa mengembangkan instalasi daur ulang untuk sampah yang 'recycleable', seperti: kertas, plastik, botol kaca. Mungkin saat ini barang-barang yang sama sudah di kelola oleh swasta sebagai bisnis dau ulang. Artinya, di Indonesia bukan barang yang baru lagi. Tetapi, perlu dipahami yang dilakukan sektor swasta sekarang ini adalah memulung, bukan 'memanage sampah'.

Management sampah nantinya akan meliputi pengelolaan sampah mulai dari sumber nya, yaitu rumah tangga atau industri. Waste management ini akan mengatur pemisahan sampah ke dalam dua kategori: sampah rumah tangga dan sampah daur ulang. Bagaimana sampah diangkut dari rumah-rumah, hingga bagaimana sampah ditangani ke lokasi akhir.

Selain sebagai regulator, operator, dan controller. Pemkab bisa berperan aktif dalam membangun instalasi pengolahan 'recycleable items'. Pada tahap awal, pemkab bisa saja membuka unit pemisahan sampah daur ulang sesuai kategorinya. Misalnya dalam kelompok kertas, plastik, dan kaca. Kemudian dijual ke pengepul. Pada tahap berikutnya, setelah kapasitas pasokan bahan baku diketahui, maka instalasi pendaur ulang bisa di bangun.

Perlu dipahami bahwa sampai sekarang ini, sampah masih merupakan cost center. Mungkin kemudahan membuang sampah di area TPA Ngadirojo melenakan Pemkab, kemudian mengabaikan potensi sampah pun bisa jadi sumber PAD. Selain itu, apakah masih ada kepedulian dan keinginan untuk merubah Wonogiri melalui sampah. Ilmu pengelolaan sampah pun bukan teknologi roket yang canggih, tinggal bagaimana pengelolaan timbunan sampah ini untuk bisa merubahnya menjadi timbunan uang.



(Melbourne - 12/04/2013)
Mengenang 3 tahun meninggalnya Eyang Kakung. It has been 3 years since you passed away. Semoga diberi kelapangan dan kemudahan di sana. Amin)
Recycling images credit to the internet - via Google :)
Gold coins image belongs to www.southlandcoins.com.