Karenanya, penemuan teknologi pangan yang memodifikasi struktur tepung cassava (tepung singkong) menjadi tepung yang serupa dengan terigu tanpa merubah kandungan nutrisinya (malahan disebutkan mocaf lebih bagus karena gluten free tidak seperti terigu), layak menjadi tumpuan harapan petani singkong di Wonogiri. Dengan berlimpahnya produksi singkong di musim kemarau, selain untuk konsumsi sebelum musim hujan tiba, gairah memproduksi modified cassava seakan memunculkan secercah harapan akan peluang pemanfaatan singkong sebagai produk ekonomi yang bermartabat. Apakah otomatis akan begitu? Ada beberapa hal yang bias menyebabkan peluang emas ini dibawa melenceng dari semangat mensejahterakan rakyat.
Pertama, memproses tepung mocaf membutuhkan skill tertentu berupa penguasaan teknologi pengolahan singkong yang harus mengikuti prosedur tertentu. Selain itu, diperlukan unsur kimia tertentu (enzim) untuk merubah singkong menjadi output yang diharapkan. Juga alat-alat yang spesifik. Konsekuensinya, diperlukan permodalan dan keahlian sebelum bisa berproduksi. Kembali, masalah utama dari masalah perekonomian adalah ketersediaan modal, dan, adanya potensi usaha produktif dimonopoli oleh segelintir orang yang mampu mengakumulasikan modal. Jika produksi dimonopoli sekelompok kecil anggota masyarakat, akibatnya harga beli bahan baku singkong dari petani bisa didikte. Ujungnya, biarpun panen berlimpah, petani singkong tetap saja tidak bisa menikmati keuntungan dari hasil panennya.
Kedua, petani singkong adalah titik terdepan dalam rantai produksi mocaf. Dengan kata lain, petani singkong adalah lapisan terbawah dari piramida ekonomi produksi mocaf. Dengan fakta itu, jika keterlibatan petani sebatas penyediaan bahan baku, bisa dipastikan petani singkong tidak akan menikmati keuntungan pemasaran mocav. Paling banter, hanya menerima multiplikasi dari jumlah singkong yang diserap pabrik mocaf, tidak lebih.
Ketika dihadapkan pada kondisi seperti ini, biasanya kita menggantungkan harapan kepada PEMERINTAH ( dalam huruf kapital - saya hanya ingin menegaskan betapa tingginya - dan parahnya - ketergantungan kita terhadap sebuah institusi, yang entah kenapa seringkali berujung kekecewaan), dan berhenti berupaya secara kreatif untuk mencari solusi dari masalah kita. Tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja, mungkin jika anggota masyarakat bisa bersama-sama memecahkan masalah sosial tanpa tergantung pihak luar, di satu sisi bisa jadi solusi tersebut bisa sustain (awet) karena timbulnya rasa kepemilikan anggota masyarakat. Di sisi lain, akan memperkuat ikatan sosial di antara anggota masyarakat yang terlibat. (CMIIW, saya tidak belajar ilmu sosiologi).
Dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa dilakukan oleh petani? Terlepas dari semangat untuk terus meng-encourage petani dan masyarakat untuk membangun kolaborasi, berserikat untuk meningkatkan kapabilitas dengan koperasi, sudah waktunya menggeser posisi petani dari semata-mata penghasil bahan mentah, menjadi komponen produksi yang memberikan nilai tambah dalam rantai produksi mocaf (dan hasil-hasil pertanian lainnya).
No comments:
Post a Comment