bisnis online

Wednesday, April 24, 2013

Microfinance -memberantas kemiskinan dari sumbernya

Dedicated for: http://www.facebook.com/groups/suararakyatwonogiri/
Setitik pemikiran diantara gagasan-gagasan besar warga SRW.

Istilah usaha yang tidak 'bankable' sering sekali kita dengar ketika pembicaraan masalah usaha yang tidak layak memperoleh kredit dari kreditor (bank, BPR, BMT dll) dan sering menjadi momok bagi pengusaha pemula dalam memperoleh pinjaman untuk kepentingan usahanya. Kendala utama dalam mengakses pinjaman permodalan adalah tiadanya asset yang bisa dijaminkan. Saking miskinnnya si pengusaha. Pengusaha pemula bukan hanya pengusaha yang sedang memulai usahanya, bukan hanya itu. Tetapi juga pengusaha-pengusaha kecil yang sudah menjalankan usahanya bertahun-tahun atau orang-orang yang tidak memiliki kesempatan memulai usaha tetapi tidak juga bisa memulai karena alasan: keterbatasan modal. Dari 230 juta penduduk Indonesia, hanya  1,58 persen yang berwirausaha (data Menko Kesra Jan 2013). Meskipun data tersebut sangat global, dengan asumsi di luar angka tersebut penduduk berprofesi sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, pekerja non-formal dan yang tidak bekerja, maka bisa dibayangkan betapa beban sosial yang ditanggung. Apalagi lebih dari 28% penduduk Wonogiri dalam kategori miskin (data Kementrian Sosial Maret 2013).

Apakah susah mengurai keruwetan sosial dan ekonomi? Saya yakin asal mau berpikir sedikit inovatif dengan berbekal jamu 'kepedulian' masalah ini bisa diurai. Sebelumnya patut diapresiasi upaya-upaya terobosan DRD Kabupaten Wonogiri dalam mengupayakan pengentasan kemiskinan. Dan kita sebagai warga mesti memberikan support dan masukan-masukan yang bermanfaat. Semoga alasan klasik birokrasi dan arus informasi tidak menjadi halangan kecepatan Pemkab Wonogiri dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang sudah begitu sistemik (menggurita, turun temurun, sudah pada tataran ber-mindset: 'wis takdir e ngono').

Selain mengharapkan bantuan pemerintah pusat dan program CSR (corporate social responsibility), pola mikrofinance yang dikenalkan oleh Grameen Bank layak untuk diadopsi dalam menyelesaikan masalah permodalan. Di Bangladesh, M. Yunus memperkenalkan konsep pinjaman bergulir kepada masyarakat miskin yang tidak bankable, terutama pada wanita. Pinjaman yang diberikan tersebut tidak memerlukan agunan fisik berupa asset yang dijaminkan (tentu saja, nasabahnya kan orang-orang miskin yang bisa jadi tidak punya apa-apa untuk dijaminkan). Sebagai gantinya, pinjaman diberikan kepada kelompok beranggota 5 - 6 orang yang menggunakan dana pinjaman sebagai modal usaha. Sebagai calon peminjam dipilih ORANG-ORANG YANG PALING MISKIN di lingkungannya. Kelompok ini yang bertanggung jawab untuk mengatur komposisi penggunaan pinjaman untuk anggota kelompoknya, sekaligus bertanggung jawab jika terjadi kegagalan bayar dari orang-per-orang. Hasilnya, tercatat tingkat pengembalian sebesar 96,67% pada periode tahun 2010-2011. Ini bisa menjadi bukti bahwa orang miskin juga layak diberikan pinjaman. Mereka memiliki skill, tapi tidak cukup kesempatan untuk memperoleh modal.

Tentunya, ada yang perlu di modifikasi dari pola operasional Grameen Bank jika di terapkan di Wonogiri. Besaran bunga pengembalian pinjaman yang mencapai 20% di Grameen Bank, harus di rubah menjadi sistem bagi hasil murni. BAGI HASIL yang saya maksud di sini bukan 'kamuflase' dari bunga pinjaman sekian persen dari yang dihitung dari nominal pinjaman lalu di label i sebagai 'profit margin' bank. (Metoda seperti ini jamak terjadi di bank-bank berlabel syariah di Indonesia - Maaf). Tetapi benar-benar bagi hasil usaha produktif, yang dihitung dari profit margin yang diusahakan si peminjam. Dengan bantuan management perencanaan usaha, pembukuan, dan konsultasi management dari bank, Insya Allah konsep profit sharing (bagi hasil) bisa lebih berkah bagi kedua belah pihak. Hasil dari profit sharing pun bisa diarahkan kepada pengembangan internal.

Mari kita dalami dengan angka-angka nyata. contoh kasus, Bu Fulanah dan kelompoknya 5 orang meminjam  dana Rp 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) dengan peruntukan usaha yang sama, yaitu bertanam Jagung. Siklus pinjaman selama 4 bulan (mulai dari pengadaan bibit, pengolahan lahan, pupuk, obat hama, panen hingga penjualan). Dalam contoh ini, tidak semua anggota kelompok menggunakan dana pinjaman, dan distribusi pinjaman tidak sama besar. Terlihat pada tabel di bawah, Bu E tidak meminjam dana. dan distribusi pinjaman bervariasi mulai dari 1 Juta rupiah hingga 4 juta perorang.

Singkat kata, pada bulan ke-4 masing-masing peminjam menghasilkan profit yang ditampilkan pada baris 'Profit'. Dengan komposisi bagi hasil 30:35:35 dimana 30% pertama adalah bagi hasil untuk peminjam (Profit Sharing 1). 35% pertama dicatat sebagai kepemilikan modal (Profit Sharing 2), sedangkan 35% yang kedua diberikan kepada bank (Profit Sharing 3).

Tabel Contoh komposisi pinjaman dan bagi hasil Dana Jamaah.
Dari tabel di atas terlihat bahwa:

  1. Masing-masing anggota yang memanfaatkan dana memperoleh keuntungan langsung dari bagi hasil sebesar rincian di lajur Profit Share 1. 
  2. Profit Share 2 adalah proporsi kontribusi peminjam kepada Dana Jamaah (dana yang akan digunakan untuk pinjaman bergulir selanjutnya). 
  3. Kelompok peminjam akan mengembalikan dana sebesar Rp 12.275.000, - dengan rincian 10 juta pokok pinjaman, Rp 1.137.500,- keuntungan bank dari pinjaman. Dan Rp 1.137.500 adalah kontribusi kelompok peminjam terhadap total modal pinjaman. 
  4. Dari total kontribusi dalam satu kali sebesar Rp 1.137.500,- masing-masing anggota kelompok mencatatkan kontribusi sebesar Rp 227.500,- Dalam hal ini Bu E yang tidak menggunakan pinjaman juga memperoleh alokasi kontribusi karena dia juga berperan dalam 'penjaminan sosial' yang memastikan pengguna pinjaman untuk mengembalikan modal pada waktunya. 

Pola pinjaman semacam ini akan lebih mudah dikelola jika digunakan untuk mengembangkan usaha berbasis commonality. Karena kesamaan siklus pinjaman dalam hal jangka waktu, pola pengadaan barang, dan pola pemasaran.

Di jaman ketika kapitalisme merebak hingga ke seluruh sendi-sendi kehidupan maasyarakat seperti sekarang ini. Kalkulasi untung rugi angkawi mengalahkan perhitungan sosial dan kalkulasi potensi dampak nya bagi masyarakat secara umum. Pemikiran seperti inilah yang harus kita lawan dengan tindakan nyata, membangkitkan jiwa usaha dari lapisan masyarakat termiskin di Indonesia (dimulai dari Wonogiri). Dengan cara memberikan dukungan modal usaha, pelatihan management, dukungan pemasaran dan menjalin jaringan yang menguatkan. Karena ketika sebuah usaha riil dijalankan oleh sebuah keluarga, ketergantungan keluarga tersebut kepada pihak lain (pemberi kerja) akan berkurang. Pada saat itu harkat dan martabat sebagai manusia yang mandiri akan terangkat. Jika beberapa keluarga yang lain melakukan hal yang sama (menjalankan usaha mandiri), maka semakin banyak keluarga yang terbebas dari ketergantungan kepada pihak lain. Jika sebelumnya menjadi konsumen (consumer), maka selanjutnya akan berubah menjadi produser atau mediator. Sedikit demi sedikit, lama-lama akan terbentuk bola salju yang terus menggelinding menjadi semakin besar, dan tak terbendung. Pada saat itulah Kesejahteraan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan terwujud. (plesetan dari sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).

(Melbourne 25/04/2013 - ANZAC Day Break).
Maaf kalau harus saya sampaikan, bahwa perayaan ANZAC Day menyakiti hati kami sebagai umat Islam. Karena anda merayakan hari dimana pahlawan-pahlawan anda menjajah negeri saudara kami. Perayaan kemenangan anda adalah hari dimana kami mengenang pembantaian mereka terhadap saudara-saudara kami.

No comments: