bisnis online

Monday, June 10, 2013

Strategi mendulang kesejahteraan dari sektor pertanian

Petani Indonesia identik dengan kemelaratan. Itu sudah jamak. Yang lebih mengenaskan adalah mereka hanya memperoleh perhatian lima tahun sekali menjelang pemilu. Dengan dijadikan komoditas jualan dalam kampanye, dengan tujuan mendulang suaranya sebagai pemilih. Sisanya yang 4 tahun, kesejahteraan hanya impian semata.

Kalau diamati, kenapa petani tidak juga bisa memperoleh kesejahteraan? Kalau dalam bisnis yang lain memerlukan dan wajib punya strategi, menjadi petani pun harus menerapkan jurus yang jitu agar dalam jangka pendek bisa survive, dalam jangka panjang bisa memperoleh posisi yang setara atau lebih tinggi daripada profesi lain. Kenapa?

Alasan pertama adalah karena petani (rata-rata petani, tidak seluruhnya) adalah pemilik aset (lahan pertanian). Dalam bisnis, pemilik aset seharusnya memiliki power lebih tinggi daripada pengguna aset tersebut. Yang memungkinkan pemilik aset tidak di dikte atau di atur-atur oleh pihak lain. Celakanya, semakin banyak petani pemilik lahan yang memilih untuk menjual aset kepada orang lain karena keinginan jangka pendek, misalnya untuk beli moto atau mobil. Dalam hal ini, petani semacam itu akan kehilangan aset paling berharga dari bisnis nya.

Alasan kedua, makanan adalah komoditi masa depan. Artinya, produsen bahan makanan (baca: hasil pertanian) adalah pemilik komoditi di masa depan. Dalam waktu tiga puluh tahun ke depan, ketika jumlah penduduk bumi mencapai 8 milyar atau lebih, mereka semua perlu makan. Darimana bahan makanan akan diperoleh? Tentunya dari pertanian. Lalu kalau semua lahan dikonversi menjadi perumahan, siapa yang akan menghasilkan bahan makanan?

Nah, lalu bagaimana mensiasati supaya petani bisa memanfaatkan keunggulan dari profesinya?
Strategi pertama adalah lepas dari jeratan kemiskinan financial dan informasi. Lah, blunder kan? Sebagian orang beranggapan bahwa jadi petani adalah pilihan terakhir karena tidak memiliki pendidikan, tidak cukup skill untuk jadi karyawan atau buruh. Sedangkan tidak memiliki dana yang cukup akan menghalangi anak untuk bersekolah. Jadinya petani ditempatkan pada lingkaran setan tingkat pendidikan dan kesulitan ekonomi. Paradigma ini menempatkan profesi petani seakan-akan sebagai kasta terendah dalam strata sosial. Pemikiran ini yang harus di rubah, di masa depan petani Indonesia harus minimal Sarjana. Atau paling tidak mereka rajin baca koran, terupdate info global terkini, atau melek internet.  Sehingga tidak akan ada lagi penipuan oleh politikus yang mengatasnamakan kepentingan petani dan rakyat kecil. Ketika informasi masuk kepada para petani, bargaining position mereka naik, karena mereka memiliki alternatif informasi selain yang di suarakan oleh pihak-pihak yang ingin mencapai kepentingannya sendiri.

Strategi yang kedua adalah keluar dari perangkap profit. Inti dari bisnis adalah berproduksi (atau dalam konteks pertanian menghasilkan panenan) dengan biaya serendah-rendahnya, untuk kemudian menjual dengan harga setinggi-tingginya. Begitu juga dengan pertanian, bagaimana caranya supaya bibit, pupuk, pengolahan, tenaga kerja yang digunakan diperoleh dengan biaya seminim mungkin, supaya ongkos produksi rendah. Dan cari pembeli yang mau membeli dengan harga paling tinggi. Terdengar absurd? Mungkin sekali untuk kondisi Indonesia saat ini. Ketika semua bibit dan pupuk harus diimpor, di monopoli oleh segelintir pengusaha, penentuan harga tentunya akan di dominasi oleh mereka. Sebaliknya ketika giliran panen, tengkulak akan membeli dengan harga serendah-rendahnya. Sampai-sampai profit pun tidak cukup untuk hidup petani diantara dua masa panen.

Terus bagaimana jalan keluarnya? Untuk keluar dari perangkap profit, petani harus keluar dari rutinitas menanam ketika musim tanam kemudian dijual ketika musim panen. Untuk itu paradigma petani harus dirubah menjadi: MEMBELI BIBIT KETIKA MUSIM PANEN, MENANAM KETIKA MUSIM TANAM, MENJUAL KETIKA PACEKLIK. Dan semuanya harus dilakukan secara SINERGI.


No comments: